Artikel Umum

MENILIK PERENCANAAN BAHASA DARI FENOMENA PANDEMI COVID-19

Dipublikasikan pada : 23 Mei 2020.

Bahasa Indonesia merupakan pemersatu bangsa. Pernyataan ini menjadi dasar dalam perencanaan dan pengembangan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang diakui secara luas baik sebagai bahasa negara maupun bahasa nasional. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya pasal 25 sampai dengan pasal 45 merupakan regulasi yang tidak bisa dibantah dalam politik bahasa dan sastra Indonesia.

Banyak hal yang kemudian dalam kenyataannya mendasari bagaimana perubahan bahasa itu terjadi sehingga kemudian mau tidak mau mendorong perencanaan dan pengembangan bahasa terus dilakukan. Kaplan dan Baldauf JR. seperti yang dikutip oleh Sunendar (2018) menyatakan bahwa perencanaan bahasa adalah batang tubuh pemikiran, perundang-undangan dan regulasi, aturan-aturan perubahan, keyakinan, dan praktik yang ditujukan untuk mencapai perubahan yang direncanakan dalam penggunaan bahasa oleh seseorang atau komunitas. Adanya setiap fenomena sosial atau bidang lainnya di masyarakat kemudian semakin mendorong kegiatan perencanaan dan pengembangan bahasa dilakukan secara cepat.

Kedudukan bahasa Indonesia harus tetap dalam posisinya. Ia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional harus terus mampu mempersatukan bangsa. Sementara itu, fenomena yang terjadi seringkali berdampak terhadap munculnya warna-warna baru dalam bahasa. Inilah ynag kemudian perlu diantisipasi. Termasuk seperti belakangan ini yang mulai ramai dengan adanya pandemi Covid-19. Kosataka dan istilah baru bertebaran bahkan tidak ayal, kosakata lama kemudian menjadi ramai diperbincangkan karena muncul dalam konteks yang dituturkan oleh kaum elit politik sebagai penjaga gerbang bangsa. Lantas apa yang kemudian harus dilakukan dalam perencanaan bahasa sebagai dampak dari munculnya warna-warna baru di masa pandemi Covid-19? Inilah yang akan diungkap secara singkat dalam tulisan ini.

Pandemi Covid-19 menjadi fenomena yang menggemparkan seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia. Kemunculan Corona Virus Disease (Covid-19) diawali dengan informasi dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pada tanggal 31 Desember 2019. WHO menyebutkan adanya kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota Wuhan, China (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2020). Selanjutnya, kasus ini dinyatakan pandemi dan mulai teridentifikasi menyebar pada awal Maret 2020 di Indonesia.

Fenomena Covid-19 yang menjadi pandemi, yakni penyakit menular yang berjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban (kbbi.web.id). Tidak dapat dimungkiri, fenomena ini kemudian berdampak luas terhadap berbagai asepek kehidupan, baik itu sektor ekonomi, sosial, politik, bahkan hingga kebahasaan pun terdampak. Pemerintah sendiri kemudian mengeluarkan berbagai macam kebijakan yang melibatkan munculnya istilah-istilah atau kosakata baru. Situasi inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa fenomena berdampak terhadap perencanaan bahasa di Indonesia.

Fenomena pandemi Covid-19 berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk bahasa. Kebijakan-kebijakan yang muncul dalam menyikapi fenomena ini mengeluarkan variasi-variasi bahasa baik dalam bidang kesehatan, sosial, maupun budaya (Sumarni, 2020). Munculnya variasi ini ditandai dengan adanya kosakata ataupun akronim baru yang pada akhirnya berkembang dan digunakan oleh masyarakat.

Akronim merupakan proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata. Akronim-akronim yang muncul akibat dampak Covid-19 di antara ODP ‘Orang Dalam Pantauan’, OTG ‘Orang Tanpa Gejala’, PDP ‘Pasien dalam Pengawasan’, PSBB ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’, APD ‘Alat Pelindung Diri’, KLB ‘Kejadian Luar Biasa’.

Selain akronim, kata pinjaman atau serapan ini merupakan kata atau istilah yang berasal dari bahasa asing dan digunakan secara umum di masyarakat penggunanya. Kata serapan yang menyebar luas digunakan oleh masyarakat akibat dampak Covid-19 di antaranya Droplet ­‘butiran ludah’, Suspect  ‘menunjukkan gejala/terduga’, Rapid test ‘tes cepat’, Swab test ‘tes usap’, Sosial Distancing ‘pembatasan sosial’, Psycal Distancing ‘pembatasan fisik’, Lockdown ‘penutupan’, Panic buying ‘pembelian besar-besaran/penimbunan barang’, Work From Home (WFH), Hand sanitizer  ‘penyanitasi tangan’.

Dalam pandemi ini, variasi bahasa juga muncul dari adanya sinonim yang menjadi isu panas. Hal ini didasari oleh adanya penggunaan kata dalam kebijakan presiden tentang kembali ke kampung halaman. Istilah “mudik” dan “pulang kampung” menjadi ramai dan berdampak pada pertanyaan dan kebingungan masyarakat pengguna bahasa. Salah satunya pun berdampak pada dipertanyakannya arti kata dalam KBBI.

Begitu cepatnya istilah bahasa berkembang di masyarakat memicu pihak-pihak di bidang kebahasaan untuk bergerak cepat menginventarisasi kata/istilah tersebut. Mau tidak mau pada akhirnya fenomena ini menjadi satu masukan bagi perencanaan bahasa. Berkembangnya sebuah bahasa menjadi satu langkah awal dalam kemajuan bahasa itu sendiri.

UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 41 ayat (1) mengamanatkan bahwa pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Berdasar pada ayat ini maka sesuai dengan perkembangan di masyarakat maka perlu ada pengembangan bahasa sehingga apa yang berkembang di masyarakat dapat dijadikan sebagai satu pembakuan khusus dalam bidang bahasa. Berkembnagnya bahasa di masyarakat perlu diantisipasi melalui perencanaan bahasa.

Perencanaan bahasa merupakan satu upaya yang perlu dilakukan dalam kegiatan pengembangan bahasa. Fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan salah satu dasar dalam upaya perencanaan bahasa. Perencanaan bahasa dapat dilakukan melalui dua jalan, yakni dari top-down atau bottom-up. Praktisi atau pegiat kebahasaan serta pihak-pihak terkait lainnya dapat menginventarisasi variasi bahasa yang muncul di tengah masyarakat untuk kemudian diusulkan kepada badan bahasa agar diproses selanjutnya untuk dapat dibakukan. Sebaliknya, pihak pemangku kewenangan juga dapat mengeluarkan kebijakan atas variasi-variasi bahasa baru untuk dibakukan dan digunakan bersama oleh masyarakat bahasa.

Kemunculan variasi bahasa di tengah fenomena pandemi Covid-19 diharapkan menjadi satu pembelajaran dalam pergerakan pihak-pihak kebahasaan dalam perencanaan bahasa Indonesia agar semakin berkembang dan memiliki padanan yang tepat dalam bahasanya sendiri. Upaya ini akan lebih mendekatkan diri bahasa Indonesia sebagai bahasa yang layak diakui menjadi bahasa internasional. ***

Dapat diakses juga di https://jabaronline.com/opini/menilik-perencanaan-bahasa-dari-fenomena-pandemi-covid-19/

id_IDIndonesian