Artikel Umum
MODERNISASI DAN INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN
MODERNISASI DAN INTERNASIONALISASI PENDIDIKAN
Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat yang lebih maju. Di Eropa, khususnya di negara Britania Raya, modernisasi mulai berkembang pada pertengahan abad ke-18 yang salah satunya ditandai oleh revolusi industri, di mana pada waktu itu penggunaan tenaga kerja di Inggris, yang sebelumnya menggunakan tenaga kerja manusia dan hewan, digantikan perannya melalui penggunaan mesin. Perubahan ini kemudian menyebar ke negara – negara Eropa lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, bisa kita jelaskan bahwa, secara umum , modernisasi berkaitan dengan proses transformasi masyarakat primitif menjadi masyarakat yang civilized atau berperadaban lebih maju. Secara lebih spesifik, modernisasi terjadi melalui proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial, politik, dan budaya.
Pada saat ini, tidak terkecuali di negara kita tercinta Indonesia, modernisasi ditandai dengan adanya kemajuan di bidang iptek. Perkembangan di bidang iptek telah menciptakan dampak yang sangat signifikan bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis – jenis pekerjaan yang sebelumnya mengandalkan kemampuan fisik yang besar, sekarang telah tergantikan fungsinya oleh perangkat mesin robot otomatis yang sangat canggih. Belum lagi bila kita berbicara tentang kemajuan teknologi informasi melalui worldwide web atau yang lebih kita kenal dengan istilah Internet.
Dari penjelasan di atas, bisa kita lihat bahwa kunci utama dari modernisasi yang sedang melanda dunia saat ini adalah industrialisasi dan kemajuan di bidang iptek, seperti yang dikemukakan oleh Alwasilah (2008). Dengan kata lain, masyarakat modern adalah masyarakat industri yang mampu menguasai bidang teknologi.
Perkembangan industri dan kemajuan teknologi telah membawa dampak yang sangat luar biasa bagi sendi – sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali bidang pendidikan, salah satunya adalah internasionalisasi pendidikan yang juga terjadi di Indonesia.
Menurut hemat saya, internasionalisasi pendidikan di Indonesia, walaupun bertujuan mulia yaitu untuk memperkuat daya saing di dunia global, justru membawa dampak yang sangat mengkhawatirkan atau bahkan, maaf, salah kaprah. Seharusnya, pendidikan diarahkan pada pembentukan jati diri bangsa yang bisa menciptakan kemandirian. Dalam hal ini, sebagai contoh, saya berbicara tentang pembentukan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
Fakta yang terjadi di lapangan adalah bahwa program ini justru menguntungkan pihak asing. Di RSBI, kurikulum, buku – buku dan bahkan para tenaga pengajar pun sengaja didatangkan dari pihak asing yang notabene dibayar dengan gaji yang sangat tinggi dan diberi fasilitas yang mewah pula tentunya. Namun, bagaimana hasilnya? Ternyata, hasilnya sangat mengkhawatirkan. Masih lekat dalam ingatan kita kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) beberapa waktu lalu. Ini adalah fakta yang sangat kejam. Sudah pasti hal ini sangat menyakitkan dan bahkan merendahkan martabat bangsa kita sendiri. Ironisnya, pemerintah terkesan lamban dan tidak tegas dalam menangani kasus tersebut. Menurut saya, kita harus bisa menciptakan lembaga pendidikan bertaraf internasional namun tidak menghilangkan rasa bangga terhadap bangsa sendiri; bukannya malah bangga dengan sistem pendidikan negara lain. Dalam pribahasa Sunda, ini namanya cul dogdog tinggal igel. Artinya, maksud hati menciptakan tujuan mulia namun yang terjadi adalah malapetaka. Nauudzubillah.
Sebetulnya, Internasionalisasi Pendidikan tidak bisa kita hindarkan dalam kehidupan modern, karena hal itu sudah tercantum dalam draft Rancangan Undang – undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Hanya saja, pertanyaannya adalah sampai sejauh mana internasionalisasi pendidikan tinggi ini memberi dampak positif bagi pendidikan tinggi di Indonesia?
Dalam Pasal 32 draft RUU PT dijelaskan bahwa pelaksanaan Internasionalisasi Pendidikan adalah melalui kerjasama internasional antara lembaga penyelenggara pendidikan tinggi di Indonesia dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain (Ayat B). Menurut Raihan Iskandar, anggota Komisi X DPR RI, bahwa dalam ranah Internasionalisasi Pendidikan, justru lembaga pendidikan tinggi Indonesia-lah yang menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Namun, yang dikhawatirkan adalah Ayat C yang merupakan kebalikan dari Poin B. Artinya, bila RUU PT ini disahkan dan Pasal 32 ini lolos dalam pembahasan, maka dampak dari Ayat C adalah terbukanya peluang bagi perguruan tinggi asing bermunculan di Tanah Air. Konsekuensinya, perguruan tinggi nasional dan asing akan bersaing untuk menguasai ‘pasar mahasiswa.’
Sementara itu, Pasal 1 Ayat 1 drat RUU PT menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan internasionalisasi adalah proses menyejajarkan perguruan tinggi dalam pergaulan internasional. Namun, pada faktanya, saya sendiri masih ragu kalau perguruan tinggi di Tanah Air sudah sejajar dengan perguruan tinggi di negara lain, apalagi di negara – negara maju, meskipun pada saat ini sudah banyak perguruan tinggi di Tanah Air; UPI, UI, dan UNPAD misalnya, yang telah lama menjalin kerjasama di bidang pertukaran pelajar dengan perguruan tinggi dari negara lain. Dengan demikian, internasionalisasipun diperlukan untuk memperoleh kesejajaran tersebut.
Namun, pertanyaan berikutnya adalah apakah kita perlu untuk menyejajarkan perguruan tinggi nasional dengan standar yang ditetapkan secara internasional? Jangan lupa, bahwa setiap negara memiliki nilai – nilai dan karakteristik yang berbeda dengan negara lain. Begitu juga dengan perguruan tinggi. Nilai – nilai dan karakteristik perguruan tinggi suatu negara belum tentu sesuai bila diterapkan di negara lain. Justru, kita sendiri yang harus melakukan diseminasi nilai – nilai dan karakteristik tersebut kepada masyarakat internasional. Bilakah hal itu terjadi? Only time will tell.
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN. Bandung: UPI Press-CV. Lubuk Agung.
Kampus.okezone.com Kamis, 22 Desember 2011, diakses pada tanggal 4 Juni 2014.