Artikel Umum

Chairil Anwar dan Angkatan Merdeka

Dipublikasikan pada : 3 Februari 2021.

Chairil Anwar dapat dikatakan menjadi avant garde dalam Angkatan `45. Angkatan yang memiliki corak puitika yang sangat berbeda dari Angkatan sebelumnya (Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru) yang lebih romantik. Angkatan `45 lebih realis dan cenderung revolusioner dalam puitika. Chairil Anwar yang wafat pada usia 26 tahun ini menjadi salah satu penyair yang mengemakan merdeka dan kebebasan. Lahir di Medan 26 Juli 1922, pria yang dijuluki “Si Binatang Jalang” ini menjadi corong dalam gagasan-gagasannya tentang kemerdekaan dan kebebasan. H.B. Jassin menobatkannya sebagai pelopor Angkatan `45 sekaligus avant garde puisi modern Indonesia kepada pria yang wafat di Jakarta 28 April 1949 ini.

Salah satu karakteristik karya Chairil Anwar adalah revolusioner dalam bentuk dan isi, meninggalkan tradisi penulisan puisi lama dan berusaha menciptakan bentuk baru sesuai dengan gagasan-gagasannya. Tujuan yang nyata dalam mengungkapkan ide dituangkan dalam kata dan bahasa yang pendek-pendek, tidak mendayu-dayu. Chairil Anwar benar-benar menunjukkan revolusi dalam puisi. Ikatan lama puisi sudah ditinggalkan. Jika pada mantra bentuk fisik dipentingkan dan makna tidak dipentingkan maka Chairil Anwar melakukan terobosan baru yakni membuat keseimbangan antara bentuk dan makna.

Pada hari ini, 17 Agustus 2020 bertepatan dengan 75 tahun Indonesia merdeka, saya teringat puisi Chairil Anwar yang dengan teguh mengemukakan perasaannya yang ingin bebas dan merdeka. Secara puitika, puisi “Aku” menjadi representatif dalam tema merdeka dan kebebasan. Berikut disajikan puisi tersebut sebagai pengingat begitu revolusioner dan begitu kuatnya keinginannya untuk bebas dan merdeka.

 

Aku

 

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

Puisi tersebut penuh dengan vitalitas menyatakan bahwa dia ingin bebas dan merdeka, walaupun peluru yang menembus kulitnya, dia tetap meradang dan menerjang. Tidak perduli walaupun ada yang mengatakannya binatang jalang yang terbuang. Dia hanya ingin bebas, sebebas-bebasnya dari bermacam-macam belenggu (dari kumpulannya terbuang). Belenggu yang mencengkeram ini adalah berbagai macam ikatan yang membuat seseorang tidak bebas, harus disingkirkan. Dia orang yang tidak perduli pada apa pun. Dua baris puisinya mengatakan bahwa apa pun yang terjadi dia ingin bebas dan mau hidup seribu tahun lagi. Ungkapan yang berapi-api dan penuh semangat revolusi membawa perubahan yang progresif terhadap puitika Indonesia. Chairil Anwar menjadi simbol perjuangan terhadap kebebasan dan kemerdekaan atas belenggu yang membatasi. Belenggu apa pun.

Usia kemerdekaan Indonesia yang sudah cukup tua, 75 tahun, terbebas dari belenggu penjajahan imperialis, seharusnya tidak menghilangkan semangat yang menggebu-gebu akan kemerdekaan dan kebebasan seutuhnya. Kemerdekaan dan kebebasan yang dikerangkai dengan jiwa Pancasila dan budaya adiluhung warisan pendiri bangsa. Sudah saatnya, di usia 75 tahun ini akan lahir semangat Chairil Anwar yang baru yang akan terus berkarya untuk bangsa yang diyakininya akan terus hidup seribu tahun lagi dan lagi dan lagi dan lagi.

id_IDIndonesian