Ungkapan bahwa karya sastra tidak turun dari langit mengacu pada kenyataan bahwa karya sastra diciptakan tidak dari kekosongan budaya. Ada kekuatan besar yang menciptakan karya sastra, yakni pengarang, karya, dan masyarakat. Ketiganya membentuk lingkaran yang berkelindan saling mempengaruhi dan berkaitan. Karya sastra yang diciptakan oleh pengarang sudah jelas akan merepresentasikan masyarakat, begitupun masyarakat adalah komunitas dari pengarang yang notabene penghasil karya tersebut. hubungan-hubungan ini yang menjadikan karya sastra tidak otonom.
Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Sapardi Djoko Damono (2010) mengatakan, bahwa ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra.
Sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan karya sastra mempunyai peranan penting dalam memberikan makna pada sebuah karya sastra. Karya sastra seringkali memotret jaman tertentu dan akan menjadi refleksi jaman tertentu pula. Karya sastra sebagai cerminan masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab tidak mungkin seorang pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang melandasinya.
Karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaannya. Semua itu berpengaruh dalam proses penciptaan karya sastra. Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Selanjutnya, Rachmat Djoko Pradopo (2002) mengemukakan bahwa karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya.
Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosial, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Pada prinsipnya, ada tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu; (1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.