Artikel Umum

Legenda Sangkuriang dan Transformasinya dalam Karya Sastra

Dipublikasikan pada : 3 Februari 2021.

 

Legenda Sangkuriang telah menjadi legenda yang paling dikenal masyarakat Sunda (Jawa Barat). Legenda ini menjadi legenda yang selalu dihubung-hubungkan dengan asal mula Gunung Tangkuban Prahu dan Lembah Bandung. Legenda Sangkuriang memiliki beberapa versi yang berbeda. Versi-versi ini terbentuk karena sifatnya yang dinamis dalam tradisi lisan. Legenda Sangkuriang mengalami transformasi tidak hanya ke dalam bentuk sastra tulis, tetapi bertransformasi pula ke dalam bentuk drama dan film.

Legenda Sangkuriang dapat dikatakan sebagai sebuah gambaran masyarakat Sunda yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kesopanan serta penolakan mereka terhadap inses. Sebab, dalam beberapa versinya Sangkuriang selalu gagal menikahi Dayang Sumbi yang notabene adalah ibu kandungnya sendiri. Transformasi Legenda Sangkuriang dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis/cetak, memiliki keunikan tersendiri. Artinya, perbedaan ataupun persamaan antara keduanya sangat menarik untuk diteliti. Kita akan ”menemui” Sangkuriang dari versi lisan dengan Sangkuriang versi Utuy Tatang Sontani, Sang Kuriang, yang sudah jelas-jelas merupakan transformasi dari versi legenda lisannya.

Pada versi tradisi lisan yang berkembang di masyarakat, Sangkuriang digambarkan sebagai sosok laki-laki sakti mandaraguna, dia adalah pemimpin para siluman, dia mampu membendung Sungai Citarum untuk dibuat telaga dan dia juga sanggup membuat perahu hanya dalam waktu semalam. Berbeda dengan penggambaran Sangkuriang versi Utuy Tatang Sontani, Sang Kuriang, Sangkuriang digambarkan sebagai seorang tokoh manusia yang mempunyai keteguhan dan prinsip yang kuat, dia tidak sakti, dia bukan pemimpin para siluman, dia hanya manusia yang sedang mencari kebenaran.

Perbedaan penggambaran tersebut merupakan buah dari transformasi yang dilakukan Utuy pada drama yang ditulisnya. Utuy melihat bahwa dalam teks lisan, Sangkuriang menjadi tokoh antagonis yang selalu salah (pada berbagai versi tradisi lisan). Dalam dramanya, Utuy mengubah citra Sangkuriang sebagai tokoh antagonis menjadi tokoh yang kuat, teguh, dan mempunyai prinsip. Sangkuriang berani melamar Dayang Sumbi karena keyakinannya kalau Dayang Sumbi bukan ibunya. Alasan keyakinan Sangkuriang sangat berdasar, dia mengatakan bahwa kelahiran dirinya tidak disaksikan oleh orang lain. Sehingga dia sangat patut “curiga” akan kebenaran legenda bahwa dia adalah anak Dayang Sumbi dan Bujang tunadaksa (Tumang).

Keteguhan prinsip Sangkuriang versi Utuy ini dapat dilihat sampai akhir teks drama yang ditulisnya yaitu ketika Sangkuriang memilih mengakhiri hidupnya dengan menusukkan kujang yang juga digunakan Dayang Sumbi. Peristiwa ini mengingatkan kita pada peristiwa hara-kiri di Jepang. Upaya bunuh diri di Jepang adalah upaya untuk menyelamatkan prinsip dan harga diri serta keteguhan keyakinan yang dianut dan itu pula yang dilakukan oleh Sangkuriang pada teks drama Utuy.

Transformasi yang dilakukan Utuy dalam naskah drama Sang Kuriang menjadi antitesis dalam legenda versi tradisi lisan. Sangkuriang digambarkan dalam dua kutub yang berbeda. Keduanya seperti tarik-menarik dalam alur dan sekuen legenda sehingga ciri-ciri dari legenda tersebut tetap ada. Hal yang paling unik dari kedua certita tersebut adalah penolakan terhadap inses. Legenda Sangkuriang menjadi salah satu penjaga norma tentang tidak diperkenankannya inses dalam budaya Sunda. Hal ini tergambar dalam legenda Sangkuriang versi tradisi lisan ataupun versi transformasinya.

 

id_IDIndonesian