Mimikri dan Kebudayaan Kita

 

Secara sadar ataupun tidak, budaya dan pendidikan di Indonesia sedikit banyaknya adalah warisan dari bangsa yang pernah menjajah (sebut saja misalnya: Inggris, Portugis, Belanda, dan Jepang). Warisan-warisan tersebut agaknya membuat kita terlena sehingga mengakibatkan kita tidak bisa lagi membedakan mana yang asli atau mana yang tiruan. Berbicara tentang pembedaan asli dan tiruan sepertinya tidak perlu dilakukan karena kita tidak bisa dengan mudah menarik garis tegas di antara keduanya. Selain itu, pembedaan tersebut berkaitan erat dengan konsep mimikri yang bersifat ambivalensi. Seperti yang diungkapkan Homi K Bhaba almost the same but not quite, almost the same but not white.

Secara tidak langsung dan tidak sadar, kita akan dengan mudah mengagung-agungkan budaya yang datangnya dari Barat dan akan “merendahkan” budaya sendiri. Contoh kecilnya, orang lebih percaya diri menggunakan jas lengkap berikut dasi, daripada menggunakan pakaian adat dari daerahnya masing-masing. Sebegitu agungnya, sehingga kita tidak bisa berbuat banyak dan harus mengikuti arus tersebut. Walaupun dengan sadar, kita tidak tahu mengapa kita lebih mengagungkan Barat daripada budaya sendiri. Inilah salah satu konsep mimikri yang diungkapkan Bhaba, almost the same but not quite `hampir sama, tetapi tidak pernah sama`. Kita mengikuti tatacara budaya Barat dengan harapan dapat menjadi “sama” dengan mereka, tetapi tetap saja tidak akan sama. Secara lebih rasial, Bhaba mengatakan almost the same but not white `hampir sama, tetapi tidak putih`. Sebagaimanapun kita berusaha untuk menjadi seperti “Barat” dengan alat apapun, tetap saja kita mempunyai pigmen dalam kulit kita, dan tetap tidak akan sama putih dengan orang Barat.

Hanafi dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah seorang pribumi yang mengagung-agungkan Barat, sehingga dengan segala daya upayanya dia ingin “menjadi” seperti mereka. Bahkan dia sangat mengharapkan akan menikahi Corrie, anak dari budaya yang dia sanjung, akhirnya dia pun menikah dengan Corrie, tetapi tetap saja Hanafi tidak mempunyai jatidiri sesungguhnya. Kita sangat mengkhawatirkan nasib-nasib anak kita akan menjadi Hanafi. Berbeda dengan Kartini, dalam suratnya, Kartini sangat mengagungkan konsep budaya Baratnya, bukan mengekor pada budaya yang secara fisik saja. Seperti pada awal suratnya pada Stella dia mengatakan ingin sekali berkenalan dengan “gadis modern”, yang berani, yang dapat berdiri sendiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Semua, yang ingin diikuti oleh Kartini adalah konsep dan cara berfikir budaya Barat tersebut. Bukan sebaliknya.

Akhirnya, kita akan menemukan banyak sekali mimikri budaya yang secara fisik dan harfiah dipahami secara mentah oleh anak-anak didik kita, misalnya: tatacara berpakaian, tatacara bergaul, tatacara makan, dan sebagainya. Ini adalah tugas kita bersama untuk setidaknya membimbing anak-anak kita untuk tidak memimik sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sejatinya ini tugas kita bersama. Tugas mulia.

 

 

Tinggalkan Komentar

id_ID
Scroll to Top