[gview file=”https://dosen.ikipsiliwangi.ac.id/wp-content/uploads/sites/6/2018/03/Bulan-Bahasa-Bukan-Sekadar-Seremonial.docx”]
Bulan Bahasa Bukan Sekadar Seremonial
(tulisan ini dimuat pada Koran Tribun Forum, Senin 26 Oktober 2015)
Ika Mustika
Dosen PBS.Indonesia STKIP Siliwangi Bandung
Bulan Oktober disebut sebagai Bulan Bahasa. Tentulah yang dimaksud adalah Bulan Bahasa Indonesia. Disebut demikian karena pada bulan tersebut terjadi peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam peristiwa itu, para pemuda dari berbagai daerah mengikrarkan diri dalam satu simpul dikenal dengan Sumpah Pemuda yang terdiri dari tiga bagian berisi pengakuan satu tanah air, tanah air Indonesia; satu bangsa, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Bagian ketiga isi sumpah pemuda secara tidak langsung mengakui keberadaan bahasa daerah sebagai bahasa yang hidup di wilayah Indonesia. Saat ini selain bahasa daerah, bahasa asing pun diakui keberadaannya. Pengaturan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa Asing tertuang dalam UU RI No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pelaksanaannya diatur dalam PP RI No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa. Sejatinya penggunaan bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa Asing dalam kehidupan sehari-hari tidak terjadi tumpang tindih karena sudah jelas pengaturan dan pelaksanaannya berdasarkan UU dan PP tersebut.
Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk memperingati bulan Bahasa, mulai dari lomba berpidato, menulis, cerdas cermat dan lain-lain sampai acara saresehan, lokakarya, seminar pun dilaksanakan, lihat saja pada bulan Oktober berbagai instansi atau lembaga yang peduli terhadap penggunaan bahasa Indonesia termasuk sekolah dari tingkat satuan pendidikan dasar, menengah, Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta menggelar kegiatan seminar dengan tema yang serupa. Seluruh kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati bulan Bahasa. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah nasib bahasa Indonesia selepas acara seremonial tersebut?
Carut-marut penggunaan bahasa Indonesia, bahasa Daerah, dan bahasa Asing masih terjadi di sekeliling kita. Fakta menunjukkan sebagian orang Indonesia lebih bangga menggunakan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris mulai mengambil alih peran bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan, sebagai contoh berikut ini beberapa istilah asing yang ditemui di Kota Bandung, penamaan pusat perbelanjaan: Trans Studio Mall, Paris Van Java Mall, hotel: Grand Aquilla Hotel, Ibis Hotel, perumahan: Panyileukan Regency, Puteraco Gading Regency, rumah makan: Java Restaurant, Café Bali, taman rekreasi: The Ranch, Floating Market, tempat hiburan: City Link, Bandung Electronic Center, nama jalan: Boulevard, Van de Venter, juga tempat-tempat bisnis lainnya. Nama kelompok band: The Titan, B Side, menu makan: Fried Chiken, Special Fried Rice with Sausages, juga berbagai produk lainnya banyak menggunakan istilah asing. Contoh-contoh tersebut hanya sebagian kecil dari penggunaan bahasa asing di ruang publik, padahal tanggal 16 Maret 1995 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengindonesiaan istilah-istilah asing melalui surat Menteri Dalam Negeri Nomor 434/1021/Sj yang ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Saat itu berjalan dengan baik. Saat ini, nasib surat Mendagri tersebut tak lagi menunjukkan taringnya, bahkan terkesan longgar sehingga masyarakat kembali menggunakan istilah-istilah asing.
Fenomena lain, sering dijumpai tokoh publik yang berasal dari kalangan artis, presenter, politikus, bahkan pejabat yang lebih bangga menggunakan bahasa asing dalam kegiatan berkomunikasi. Di samping itu juga, lebih bangga menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Sebagai contoh, salah seorang artis dengan inisial “S” konsisten dengan penggunaan istilah “sesuatu”, dan “olala”, bahkan artis dengan inisial “V“ sempat menjadi bahan perbincangan terkait penggunaan istilah “konspirasi kemakmuran”, dan “kudeta keinginan”, presenter dengan inisial “DB” memiliki penggunaan bahasa yang khas, yakni “salah keles”, dan “betul bingit”, politikus berinisial “MH” menggunakan istilah “kamseupay”. Kemunculan istilah-istilah tersebut, banyak ditiru oleh kalangan generasi muda. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa tokoh publik sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter generasi muda.
Hal ini seperti dinyatakan Fauzia (2014) yang mencermati penggunaan bahasa Indonesia tokoh publik dengan responden para mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung, 80% responden mengaku penggunaan bahasa tokoh publik cenderung memengaruhi diri responden dalam berbahasa. Sekitar 20% responden mengaku tidak terpengaruh. Sementara itu, hampir 90% responden mengaku bahwa penggunaan bahasa tokoh memengaruhi temannya dalam berbahasa. Mereka mengakui dalam percakapan sehari-hari, teman-teman di sekitarnya sering meniru gaya berbahasa tokoh, bahkan sampai dipraktikkan dengan gesturnya. Selanjutnya Fauzia menjelaskan bahwa keadaan tersebut mencerminkan sikap bahasa yang masih rendah di kalangan generasi muda.
Fakta dan fenomena tersebut jelas sangat memprihatinkan, terlebih maraknya penggunaan istilah-istilah asing di ruang publik maupun yang digunakan tokoh publik berpengaruh terhadap perkembangan karakter generasi muda. Sementara itu generasi muda adalah generasi penerus peradaban, di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan termasuk didalamnya masa depan bahasa Indonesia. Perlu upaya bersegera untuk menangani permasalahan yang muncul terkait penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik jika tidak ingin bahasa Indonesia “lenyap” dari bumi Indonesia, bukankah “bahasa menunjukkan bangsa?”
Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia, diantaranya (1) menyosialisasikan UU RI No. 24 Tahun 2009, dan PP RI No. 57 Tahun 2014, (2) mengimplementasikan surat Menteri Dalam Negeri Nomor 434/1021/Sj tentang kebijakan pengindonesiaan istilah-istilah asing secara ajeg, (3) melaksanakan pembinaan bahasa Indonesia melalui jalur pendidikan formal dan nonformal secara berkesinambungan, (4) menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat pentingnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa negara, dan (5) menanamkan rasa cinta dan mempertebal komitmen rasa bangga menggunakan bahasa Indonesia.
Seyogianya, tokoh publik mulai dari Presiden, pejabat negara, politikus, termasuk para artis menjadi panutan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal yang sama juga perlu menjadi perhatian pihak-pihak yang berkutat dengan dunia kepenulisan. Pada akhirnya, bulan bahasa bukan sekedar acara seremonial yang gaungnya hanya dirasakan setiap bulan oktober melainkan dapat dirasakan setiap saat/bulan sehingga pengakuan “menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan” termanifestasi melalui tindakan nyata yakni menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dan membudayakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia.