Artikel Umum

Ngajar: Cinta Pertamaku

Dipublikasikan pada : 21 Juni 2020.

“Yakin kamu mau jadi guru?” Itulah reaksi yang kerap kali kudapatkan ketika kuutarakan cita-citaku. Di masa seragam putih abu, profesi yang didambakan kebanyakan teman seusia adalah dokter, insinyur, polisi, ataupun arsitek. Guru tentulah bukan salah satunya. Santer pula terdengar bahwa menjadi guru bukanlah profesi yang bisa menghasilkan pundi-pundi berisi emas permata. Tapi itu semua tidak meyurutkan diri ini untuk tetap bermimpi menjadi guru, profesi yang digeluti oleh ibuku berpuluh tahun lamanya. Simpelnya, profesi ini telah membuatku jatuh cinta. Tentu saja pilihanku saat itu beralasan logis, setidaknya untuk pikiran anak usia SMA.

Ya! Tuhan seperti merestui mimpiku. Ada undangan untuk menjadi mahasiswa di salah satu univeristas negeri di Ibukota tanpa melalui tes. Jurusannya pun sesuai dengan yang kuminati. Ragu sempat terbersit, lebih pada seorang diri ini di kota perantauan tanpa sanak saudara. Tapi dengan dukungan penuh orang tua, kuambil kesempatan langka itu. Kujadikan sebagai bentuk syukur atas kesempatan yang Tuhan diberikan, di saat teman seusia masih harus bertaruh nasib untuk mendapatkan jatah bangku kuliah idamannya.

Menginjak awal masa kuliah, terjadi pergeseran ambisi diri. Menjadi guru tak lagi dirasa cukup memuaskan.  Berinteraksi dengan berbagai dosen dengan karakter yang unik dan menyenangkan membuat diri ini menginginkan lebih dari “sekedar” guru. Ngajar mahasiswa terdengar lebih menantang bagiku. Seiring dengan berjalannya masa perkuliahan, menjadi dosen semakin terasa menggoda ego diri.

Tahun berganti, ijazah sarjana di tanganku. Tak lama berselang, aku pun menjadi seorang ibu. Tapi ambisi menjadi seorang dosen tidak pernah sirna dalam hati. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister kutempuh dengan senyum terlebar. Mimpi seolah sudah dekat di depan mata. Perjuangan terberat kurasa berada dalam hal mengatur waktu antara keluarga, pekerjaan , dan kuliah. Ya, pada saat itu aku menjadi salah satu pengajar honorer di salah satu SMK di kota kelahiranku. Menjadi guru honorer,dengan suka dukanya, melecut diri untuk lebih segera mewujudkan cita-citaku menjadi seorang dosen.

Dua tahun kemudian, titel master pendidikan dari salah satu universitas negeri ternama di Kota Bandung secara resmi kucapai. Buah dari doa, cinta, dukungan, dan materi yang takkan pernah bisa terhitung dari orang-orang tersayang dalam hidup ini. Cita-cita semakin terasa nyata di depan mata. Banyak rencana terjalin seiring dengan diraihnya persyaratan pendidikan minimal untuk menjadi seorang dosen. Tak sedikit pula mimpi tercipta di dalamnya. Beribu bayangan indah di pelupuk mata.

Dengan harapan penuh, tak hanya satu ataupun dua surat lamaran kubuat, tapi belasan. Selama perguruan tinggi itu mempunyai program studi yang beririsan dengan jurusan yang kuambil ketika S2, maka kutitipkan setitik harapanku di sana. Tak banyak ternyata yang dapat memberikan kesempatan bagi diriku, walau hanya sekedar untuk sebuah wawancara.

Puji syukur tak terhingga ketika ada beberapa institusi pendidikan tinggi yang memberikan secercah harapan walau diri ini bukan kerabat orang ternama ataupun orang berada. Dan pilihanku jatuh ke sebuah institusi pendidikan yang salah satu program studinya adalah jurusan yang sama dengan latar pendidikanku di S1 dan S2. Isu linieritas mulai mencuat kala itu. Keinginanku berkarier panjang di dunia pendidikan tinggi lebih kuutamakan dibanding rupiah yang didapat jika halnya kupilih bekerja di sebuah universitas dengan posisi pengajar mata kuliah umum, sekalipun itu universitas ternama. Kupilih dan kucoba memantapkan hati.

Betul kata orang, di setiap pilihan terletak konsekuensinya.  Perguruan tinggi yang sedang berkembang tentulah tidak sama dengan yang sudah dikenal. Dari mulai jajaran personil, manajemen, sistem, sarana, juga penggajian, semuanya tidak bisa disamakan. Upah yang nominalnya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan asisten rumah tangga sekalipun, menjadi salah satu resikonya.  Tak hanya itu, tuntutan untuk senantiasa professional seolah tak ingin melirik realitas penggajian yang jauh dari kata humanis dan realitas.

Lucunya, diri ini bertahan. Bertahun-tahun, diri ini mengajar dengan suka cita. Bersemangat bertemu binar mata dari para mahasiswa.  Bersua dengan kolega yang bernasib serupa. Berjibaku dengan asa yang sama. Dan meski perlahan, seiring dengan berkembangnya diri, berkembang pula kesempatan yang dimiliki. NIDN, jabatan fungsional akademik, hibah penelitian, dan sertifikasi dosen. Satu persatu kucoba pantaskan diri untuk meraihnya.  Dan lagi-lagi Tuhan merestui.

Di tahun ketujuh dari karierku sebagai dosen, keajaiban terjadi. Tuhan menggerakkan hati para pemangku kebijakan untuk memberikan upah yang setara dengan dengan UMR pegawai negeri. Sungguh merupakan kabar yang melegakan banyak pihak. Akumulasi dari beratus asa, beribu harapan, juga berjuta doa. Seolah mengajarkan untuk terus berusaha, tak kenal lelah menyemai cita, menabur kebaikan, juga memupuk harapan. Karena tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan berkehendak. Tidaklah aneh jika Tuhan ingin perkenankan kita untuk menikmati hasil panen dengan suka cita.

Memiliki profesi yang merupakan cita-citaku sedari belia tentulah harus kusyukuri. Setidaknya, satu kebahagiaan dasar telah kucapai. Tidak semua dapat menekuni pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Tak sedikit pula orang yang dengan terpaksa bekerja di bidang yang bukan merupakan pilihan hatinya. Banyak juga diantara mereka yang dipilihkan hidup untuk menjalani mimpi orang terdekatnya.

Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?

Terselip doa dalam hati, semoga setitik kebahagiaan serupa juga dirasakan oleh teman seprofesi di seluruh pelosok negeri. Tak jarang kudengar kabar yang mengiris hati. Bahwa keringat mereka seolah mengering tanpa diakui. Tak sedikit dari mereka yang menunggu setiap pembayaran upah dengan waktu yang tak pasti. Kabar yang menyayat hati. Bagaimana bisa di negeri yang katanya kaya ini, profesi pendidik masih belum dihargai. Semoga keadaan seperti ini cepat dapat diakhiri. Sehingga profesi cinta pertama diri ini dapat juga dijatuh cintai oleh banyak hati di negeri ini.

 

*Tulisan ini dimuat dalam buku Curahan Hati Dosen bersama komunitas Kodepena

id_IDIndonesian