Artikel Umum
PERUBAHAN PARADIGMA TENTANG MENULIS (Sebuah Tanggapan terhadap Artikel Prof. Chaedar Bahwa Menulis bukan Sebatas Ilmu Pengetahuan tetapi Harus menjadi Komitmen untuk Merealisasikannya)
Ada sebuah fenomena mengkhawatirkan dari dunia kepenulisan, hal tersebut berlandaskan pada kenyataan di lapangan serta diperkuat oleh pernyataan Kepala Balai Bahasa Bandung, Abdul Khak (dalam sebuah artikel online). Beliau menuturkan bahwa tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan anak muda. Pernyataan tersebut nampaknya sejalan dengan pemikiran Prof. Chaedar Alwasilah dalam artikel berjudul “Shifting Writing from Knowledge to Commitment”. Bahkan, menurut survei dalam artikel tersebut, masih banyak dosen ataupun para intelek yang belum memiliki karya berupa tulisan sendiri. Masih banyak dosen yang mengajar mahasiswa menggunakan buku referensi karya orang lain bukan karya tulis dosen yang bersangkutan. Nampaknya, permasalahan tersebut erat kaitannya dengan kemampuan dan minat membaca yang masih rendah. Membaca adalah keterampilan dasar dalam ilmu bahasa. Membaca adalah landasan utama untuk membangun keterampilan menulis.
Menurut Prof. Chaedar, rendahnya kemampuan menulis tersebut diperparah dengan rendahnya kemampuan para intelek dalam berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Kemampuan berbahasa Inggris diperlukan untuk mempublikasikan tulisan atau karya ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan Indonesia. Publikasi dalam bahasa Inggris sangat penting demi sosialisasi karya ilmiah kepada dunia. Oleh karena itu, Prof. Chaedar sangat menekankan pentingnya seseorang melatih kemampuan menulis ditambah dengan kemampuan menulis dalam bahasa Inggris.
Saya sangat setuju dan mendukung dengan gagasan tersebut. Namun, jika kembali ke pernyataan di awal tulisan ini, muncul suatu pertanyaan “bagaimana bisa menciptakan tulisan berbahasa Inggris, sementara menumbuhkan budaya menulis dalam bahasa Indonesia saja masih sulit?”. Pertanyaan tersebut mungkin terdengar klise, namun itulah kenyataannya. Hal pertama yang harus ditingkatkan adalah kemampuan membaca, setelah membaca diminati semua kalangan dan menjadi gaya hidup masyarakat pada umumnya, maka hal selanjutnya adalah menumbuhkan keinginan untuk menulis. Jika keinginan sudah kuat, maka rintangan apapun tidak akan berarti untuk menghambat seseorang menghasilkan karya tulis. Rintangan yang dimaksud banyak macamnya, termasuk rintangan yang berhubungan dengan teori-teori menulis, yaitu seputar permasalahan tata bahasa ataupun komposisi.
Senada dengan pendapat Prof. Chaedar, bahwa pandai teori bukanlah satu-satunya modal untuk menulis namun penulis sejati itu menulis dari hati, artinya menulis itu seharusnya lahir dari sebuah dedikasi untuk peningkatan intelektual tidak hanya berpatokan pada teori-teori yang baku sehingga malah menghambat proses berpikir kreatif. Jika dari awal sudah dikerangkai oleh teori, maka tulisan tidak akan berkembang dan kreatif. Seperti halnya menulis dengan bahasa Inggris, seringkali alasan utamanya adalah masalah grammar atau aturan tata bahasa yang kurang dikuasai sehingga kreativitas menulis mentok dalam lingkup permasalahan tersebut.
Prof. Chaedar berpendapat bahwa dalam dunia pendidikan keterampilan menulis dapat diimplementasikan dengan membiarkan anak menulis secara bebas dengan menuangkan gagasan-gagasan yang ada dalam pikirannya, kemudian setelah selesai semua ide dituangkan menjadi sebuah tulisan, ubahlah ke dalam bahasa Inggris dan jangan sekali-kali mempermasalahkan tata bahasa terlebih dahulu, hal tersebut dapat melatih siswa terampil menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Namun, bukan berarti tata bahasa tidak dipelajari, hanya jika hanya permasalahan tata bahasa yang menjadi satu-satunya fokus pembelajaran, itu tidak cukup, sedangkan permasalahan isi atau makna sebuah tulisan terabaikan.
Pendapat-pendapat Prof. Chaedar dalam artikelnya dapat dipahami dan disetujui, terutama masalah keterampilan menulis yang perlu ditingkatkan sehingga serta otomatis akan berdampak pada peningkatan budaya membaca. Selanjutnya, baru dapat masuk ke ranah penguasaan bahasa Inggris, karena jika kemampuan menulis dalam bahasa nasional saja sudah sulit apalagi harus mengubah tulisan ke dalam bahasa Internasional. Oleh karena itu, nampaknya untuk mengatasi istilah “sulit” dalam menulis, harus ada pergesaran paradigma bahwa menulis yang dianggap “sulit” menjadi “mudah”, asalnya “cukup tahu” menjadi “mau” (untuk memulai menulis). Ada satu hal yang paling penting untuk mewujudkan pergeseran paradigma tersebut, yaitu “komitmen”.