Artikel Umum

RUMUS MENCIPTAKAN OUTPUT PERGURUAN TINGGI BERMUTU “I2A” (IMAN, ILMU, DAN AMAL SEBAGAI PATOKAN PERGURUAN TINGGI UNTUK MENGHASILKAN LULUSAN BERMUTU)

Dipublikasikan pada : 8 Maret 2018.

 

Perguruan Tinggi (PT) merupakan salah satu wadah pendidikan lanjutan yang seharusnya mampu mencetak pribadi-pribadi yang berkualitas dan siap terjun dalam hiruk pikuk kehidupan sosial masyarakat. Dalam pandangan masyarakat selama ini, orang yang mampu sekolah hingga Perguruan Tinggi (sebut saja mahasiswa) merupakan orang yang hebat, bisa diandalkan, dan diharapkan mampu menciptakan perubahan positif dalam lingkungan masyarakat. Istilah kerennya sebagai  agent of change”.

 

Mahasiswa adalah salah satu aset bangsa yang memiliki peranan penting terhadap perubahan bangsa. Apakah menuju kebangkitan atau justru menuju keterpurukan. Analisa dari kebangkitan dan keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi generasi penerus bangsa saat ini, termasuk di dalamnya mahasiswa. Karakter mahasiswa lebih banyak dibentuk oleh lingkungan PT tempat dia berkuliah. Cara pandang, orientasi, pola tindak dan pola sikap seorang mahasiswa (atau yang pernah menjadi mahasiswa) berbeda dari anggota masyarakat pada umumnya (bukan mahasiswa).

 

Lingkungan perguruan tinggi harus mampu menciptakan iklim kultur akademik yang mengedepankan pembinaan iman, penguasaan ilmu pengetahuan yang luas, serta melatih amal perbuatan yang bermanfaat bagi lingkungan. Bukan sebaliknya, degradasi moral imbas dari pudarnya keimanan sehingga iklim kampus adalah iklim mahasiswa yang hedonis bergaya western. Moral yang merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku sudah mulai tidak lagi digunakan sebagai penunjuk jalan berperilaku, terutama bagi mahasiswa yang merupakan agen pembangunan.

 

Demoralisasi kaum akademik ini sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia baik untuk saat ini maupun untuk masa depan kelak. Secara umum bentuk dari perilaku amoral mahasiswa adalah seks bebas, minuman keras, narkoba, perkelahian atau juga tawuran, kriminalitas dan lain-lain. Semua hal tersebut ditandai dengan budaya hura-hura, mengutamakan duniawi dan konsep just for having fun. Selain itu, ilmu yang didapat tidak melahirkan suatu amalan yang bermanfaat bagi masyarakat, namun menjadi alat untuk menyombongkan diri karena merasa memiliki prestise yang lebih tinggi.

Seperti yang diungkapkan Alwasilah (2008 : 73) bahwa terjadi diskontinuitas antara dunia SMA dan PT yang cenderung asyik dengan dunianya sendiri. Berbeda dengan kontinuitas kurikulum SD, SMP, dan SMA, kontinuitas kurikulum SMA dan PT agak terputus. Menurut Alwasilah, keterputusan tersebut berimbas pada penguasaan keterampilan belajar (study skill). Namun, menurut saya, keterputusan itu pun terjadi dalam hal pembinaan nointelektual (soft skill). Di jenjang sekolah, pembinaan nonintelektual tersebut senantiasa digembar-gemborkan, apalagi dalam kurikulum 2013 saat ini, penilaian nonintelektual sangat diperhatikan. Namun, sangat disayangkan, ketika masuk PT, penilaian (penetapan IPK) terhadap mahasiswa hanya sebatas kemampuan intelektual, bahkan lebih amoralnya, IPK dapat dibeli dengan harga “sekian rupiah”.

Diskontinuitas dalam hal pembinaan nonintelektual mahasiswa akan sangat berdampak pada pembentukan karakter mahasiswa. Pembinaan nonintelektual mahasiswa ini dapat diselipkan dalam kurikulum yang harus disampaikan oleh setiap dosen disela-sela materi perkuliahan. Pembentukan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang dapat mewadahi dan mengarahkan nalar mahasiswa yang kritis namun tetap terarah pada jalur yang benar sesuai nilai-nilai keimanan pun perlu dimunculkan. Sehingga, kultur akademik yang tebangun berlandaskan pada rumus “I2A” yaitu “Iman, ilmu, dan Amal”.

Pertama, Kualitas keimanan. Sebagai umat beragama, mahasiswa harus memiliki keimanan yang teguh sebagai pegangan dalam berperilaku yang positif karena setiap agama pasti memiliki nilai-nilai moral yang luhur dan arif.

Kedua, Kualitas keilmuan. Mahasiswa di negeri ini harus memiliki intelegensi agar tidak mudah dibodohi oleh kebudayaan asing yang buruk sehingga tidak terjebak pada budaya westernisasi. Selain itu, agar mahasiswa memiliki kemampuan yang prima tekait bidang teknologi dan informasi.

Ketiga, Kualitas amalan. Mahasiswa harus memiliki etos kerja yang tinggi dengan orientasi yang benar. Hal tersebut secara otomatis akan menjauhkan mereka dari kegiatan yang kurang bermanfaat.

 

Jika saya simpulkan, bahwa Implementasi solusi yang tepat untuk menciptakan PT yang berkualitas adalah mampu mengondisikan sampai mencetak mahasiswa yang berkualitas. Patokan kualitas tersebut harus mampu mengatasi demoralisasi yang terjadi di kalangan mahasiswa, yaitu berupa penanaman nilai-nilai keagamaan sehingga menumbuhkan keimanan pada masing-masing agamanya, pembekalan ilmu yang cukup sebagai referensi dalam bertindak, dan yang terakhir adalah pengamalan mahasiswa yang memiliki etos kerja tinggi dalam rangka berkarya untuk masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhannya.

 

 

Referensi:

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN : Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi. Bandung : CV Lubuk Agung.

 

Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia.

 

Kosim, Muhammad. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun : Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta : Rineka Cipta.

 

 

id_IDIndonesian