Artikel Umum

Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mengembangkan Karakter Nasional di Indonesia

Dipublikasikan pada : 1 Agustus 2020.

 “Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Mengembangkan Karakter Nasional di Indonesia

 

 

  1. Permasalahan yang diangkat :

Kebijakan penerapan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia bukanlah sesuatu yang baru, seperti yang bisa diidentifikasidari berbagai produk hukum yang menjelaskan berlakunya Kewarganegaraan dalam berbagai versi dan nama.

 

Dalamkonteks kehidupan sosial, negara bagian, dan nasional, kehidupan siswa di sekolah pada dasarnya merupakan proses kehidupan socialpendidikan dalam mempersiapkan mereka sebagai warga negara (Somantri, 2001; Winataputra, 2001).Namun, meski kebijakan tentang Pendidikan Kewarganegaraan telah dilaksanakan di lembaga formal, sepertisekolah dan institusi pendidikan tinggi, krisis moral tidak pernah berhenti berkembang di Indonesia.

 

Menurut Azra(2001), setidaknya ada tujuh masalah utama yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia, yaitu akarnyaKrisis moral dan moral, yaitu

(1) orientasi pendidikan telah kehilangan objektivitasnya;

(2) kematangan diritidak terjadi secara tepat di lingkungan sekolah;

(3) proses pendidikan di sekolah sangat membatasiruang untuk kreativitas baik untuk siswa dan guru;

(4) beban kurikulum terlalu memberatkan dan cenderungberorientasi pada pengembangan domain kognitif saja;

(5) Bahkan jika ada materi konten yang menumbuhkan kasih sayang,seperti pendidikan agama dan pendidikan moral, atau apa yang sekarang akrab disebut Pendidikan Kewarganegaraan;

(6) diWaktu yang sama, siswa berpose dengan nilai-nilai yang bertentangan; dan

(7) sejumlah kecil teladan moral yang hidupbagi siswa dalam kehidupan mereka.

 

Oleh karena itu, diperlukan penguatan implementatif dalam mendorong karakter nasional dan penyediaan fasilitaskarakter nasional melalui pendidikan. Krisis moral, jika tidak segera ditangani, akan memicupengembangan karakter yang tidak mencerminkan identitas dan karakter nasional, sesuatu yang pada akhirnya bisa tercapaimenyebabkan:

(1) disorientasi dan ketidakmampuan untuk menghargai nilai-nilai Pancasila (lima prinsipIndonesia) sebagai filosofi dan ideologi nasional;

(2) terbatasnya alat kebijakan terpadu dalam mewujudkan hal yang esensialnilai-nilai Pancasila;

(3) pergeseran etika hidup nasional dan negara;

(4) semakin berkurangnya kesadaran nasionalnilai-nilai budaya;

(5) ancaman disintegrasi nasional; dan

(6) melemahnya kemerdekaan nasional.

Ini masuksejalan dengan pandangan DeRoche, Sullivan, dan Garret (1999) yang menyatakan bahwa:

Pendidikan karakter kebutuhan muda kita untuk belajar dan mempraktikkan nilai-nilai yang melekat pada negara inidokumen. Sekolah membutuhkan pendidikan karakter untuk menjadi tempat di mana siswa membangun sosio-moral merekadiri; dimana mereka belajar untuk berpikir kritis dan moral; dan di mana mereka mempraktikkan kebiasaan dan keterampilanmenjadi orang baik dan warga negara yang baik.

 

Pendidikan kewarganegaraan melalui restrukturisasi dan konsolidasi kebijakan implementatif, baik yuridis formal (UU No.20 tahun 2003 dan UU No. 12 tahun 2012) dan kurikuler (Kurikulum 2013), diharapkan dapat membantupenataan ulang karakter dan identitas nasional. Dalam penelitian sebelumnya oleh Rohayani di tahun 2010, disebutkanbahwa sekolah memiliki peran strategis dalam pendidikan nilai; Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat melakukannya sendiri.

 

Kontribusi proses belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan cukup signifikan, baik secara langsung maupunSecara tidak langsung, dengan karakter warga muda sebanyak 19% (Rohayani, 2010, hlm. 2-3). Temuan ini masukSesuai dengan Grand Design of Character Development (2010, hal 29), salah satu strategi nasionalpengembangan karakter adalah pendidikan. Selain itu, McDonell dan Russell (1999) berpandangan bahwa, “ini ada di dalamnyasekolah yang kita punya potensi terbesar untuk mengatasi krisis karakter yang mengamuk di sekitarmu”.Namun, benarkah kebijakan tentang Pendidikan Kewarganegaraan dilaksanakan di sekolah dan perguruan tinggi

dapat mengembangkan karakter nasional Indonesia.

 

  1. Metode

Data sekunder dikumpulkan dengan mengidentifikasi buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal dan atau jurnal yang relevaninformasi terkait lainnya Langkah-langkah yang diambil: identifikasi umum sumber yang sesuai, spesifikidentifikasi literatur yang lebih spesifik dan paling relevan dan akhirnya, membaca dan menyortir yang paling relevanliteratur. Ini membantu peneliti untuk membuat literatur yang paling sesuai dan penting untuk penelitian ini.

 

Data diinterpretasikan dan dianalisis secara deskriptif, prosesnya melibatkan kutipan dan pengolahan datamemberikan gambaran tentang bagaimana kebijakan telah dibuat dengan maksud untuk memfasilitasi karakter nasionalformasi atau bangunan. Analisis isi juga dilakukan (Suryabrata, 1983, hal 94) untuk menetapkansifat konten yang sesuai. Dalam penelitian kualitatif, analisis isi berfokus pada konsistensitemuan.

 

  1. Hasil

Di Indonesia, pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah telah mengalami banyak perubahan baik di Indonesiakonten dan substansi, sejak pertengahan 1970. Pengenalan Pendidikan Moral Pancasila yang terkandung bahan yang diajarkan berdasarkan pengalaman dan praktekprinsip-prinsip Pancasila, diajarkan berdasarkan praktek dan panduan menghafal.Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi misi pendidikan yang dimandatkan oleh Resolusi No. IIMPR / MPR / 1978, tentang praktek dan menghafal Pancasila.

 

Konstitusi Pasal 39 Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, itu diuraikan bahwa Pancasila dan Pendidikan KewarganegaraanAda komponen wajib kurikulum untuk semua jenjang pendidikan. Begitulah, sebuah kebijakan konstitusionalyang menyebabkan pendidikan kewarganegaraan. Saat ini, pendidikan kewarganegaraan dipandang sebagai subjek yang berfokus padapengembangan warganegara menjadi orang yang mengerti dan mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baikdiamanatkan oleh Pancasila panduan dan UUD 1945 (Peraturan Nomor 22 Tahun 2006 tentang StandarKonten).

 

Kebangkitan nasional sehubungan dengan UUD 1945, pidato politik negara, terutama diarahkan pada pembangunan bangsa dan karakter “Indonesia; pendidikan kewarganegaraan (diciptakan pada tahun 1968). Namun, pada 1975 warga sipilpendidikan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, danPendidikan pancasila dan pendidikan nasionalisme untuk mahasiswa. Pada tahun 1994, namanya diubah Pancasila dankewarganegaraan, dan akhirnya menurut UU No. 20 tahun 2003 konsepnya berubah menjadi pendidikan kewarganegaraan untuk semuatingkat termasuk di universitas.

 

Kebijakan pendidikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan seharusnyapertimbangkan:

(1) personil dan kehidupan religius, iman dan kesalehan dalam semua aspek kehidupan;

(2) melek huruf politik,pemahaman hukum;

(3) kehidupan manusia dan demokrasi;

(4) kecerdasan manusia dan individu, kedamaian dankemakmuran;

(5) manusia dan semangat nasionalisme, identitas nasional, patriotisme dan pertahanan negara; dan

(6) hidup dalam harmoni.Istilah yang digunakan, isi yang dipilih dan terorganisir, dan strategi belajar mengajar dipekerjakan disubjek Kewarganegaraan atau Kewarganegaraan    atau Pendidikan Moral Pancasila atau Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan telah memilikifluktuasi pembangunan selama hampir empat dekade (1962-1998), menunjukkan kegaduhan kerangka kerjaberpikir, dan juga menunjukkan bahwa krisis konseptual telah terjadi, sehingga berdampak pada krisis kurikuler

operasi. Ketidakjelasan dapat diamati di: Kewarganegaraan pada tahun 1962 yang dalam bentuk indoktrinasi politik,Kewarganegaraan tahun 1968 sebagai unsur Pendidikan Kewarganegaraan yang memiliki nuansa ilmu sosial; Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia1969 yang berupa pengajaran konstitusi dan MPRketentuan; Pendidikan Kewarganegaraan tahun 1973 yang identik dengan pengajaran Ilmu Sosial; Pancasila MoralPendidikan pada tahun 1975 dan 1984 yang menggantikan Kewarganegaraan    dengan isi Pedoman untukMenanamkan dan Pelaksana Pancasila (P4); dan Pancasila dan Kewarganegaraan    tahun 1994 itu adalahKombinasi bahan pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam bentuk pengajarankonsep nilai disintesis dari Pancasila dan P4. Krisis operasional tercermin dalam perubahanisi dan format buku teks, pengembangan guru yang tidak mengartikulasikan, dan fenomena di kelas itubelum banyak bergeser dari penekanan pada proses kognitif menghafal fakta dan konsep dariPenjelasan di atas tampak semua itu terjadi karena sekolah masih diperlakukan sebagai lembaga sosio-kultural, namunMasih efektifnya penerapan metode pembelajaran secara konseptual, karena ada paradigma KewarganegaraanPendidikan secara mantap diterima secara nasional dan digunakan sebagai acuan dan pola operasional. Berikut adalah dasar dariMengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia.

 

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa semua fenomena merupakan konsekuensi dari perlakuan lanjutansekolah institusi associo-cultural dan ketidakefektifan penerapan metode pembelajaransecara konseptual, karena tidak ada paradigma Pendidikan Kewarganegaraan yang telah diterima dan digunakan dengan mantap dilingkup nasional sebagai acuan dan pola operasional. Belo adalah fondasi pelaksanaan KewarganegaraanPendidikan di Indonesia.

 

  1. Dasar Historis

Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap prinsip Pancasila telah lama dipraktekkan oleh orang-orangIndonesia bahkan sebelum nilai-nilai itu dirumuskan dan dilegitimasi. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila yang tak laindaripada budaya nasional Indonesia, atau dengan kata lain, Indonesia sebagai negara adalah causa-materialisPancasila. Oleh karena itu, berdasarkan fakta obyektif sejarah, kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa telahtidak terlepas dari nilai-nilai Pancasila. Akibatnya, secara historis Pancasila dalam posisinya sebagailandasan filosofis negara dan ideologi bangsa dan negara, bukanlah ideologi yang mendominasibangsa; sebaliknya, nilai-nilai masing-masing prinsip Pancasila yang melekat dalam dan berasal dari Indonesia.

 

 

 

  1. Dasar Filosofis

Dalam situasi yang ideal, nilai-nilai Pancasila merupakan dasar filosofis negara. Akibatnya, masing-masingaspek administrasi negara harus didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, termasuk sistem peraturandan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dalam realisasi negara, termasuk era reformasi saat ini, itu adalah suatu keharusan bahwa Pancasilamenjadi sumber nilai dalam administrasi negara, baik dalam pembangunan nasional (termasuk nasionalpengembangan karakter) di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan pertahanan dan keamanan.

 

  1. Dasar Konseptual

Pada dasarnya, Pancasila mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, harmoni, kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan, dan kebijaksanaan dalammengembangkan kehidupan nasional. Secara konseptual, Kewarganegaraan    adalah bidang studi yang multifaset dengankonteks multidisipliner. Dari objek studi itulah konsep Kewarganegaraans telah berkembang, yang manaharfiah diambil dari kata KEWARGANEGARAANUS Latin, yang berarti warga di era Yunani Kuno. Kata itu kemudian terjadiSecara akademis diimbau sebagai embrio pendidikan kewarganegaraan. Di Indonesia, itu diadaptasi menjadi “PendidikanKewarganegaraan”atau disingkat menjadi PKn.

  1. Dasar Formal-Yuridis

Dasar yuridis formal, dasar-dasar pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Indonesia sebagai pondasi konstitusional; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

landasan operasional; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 (untuk Institusi Pendidikan Tinggi) danPeraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan RegulasiMenteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Pascasarjana sebagai kurikuleryayasan. Sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional melalui Departemen NasionalStandar Pendidikan, kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan untuk lembaga pendidikan formal dilaksanakan olehreferensi Kurikulum Berbasis Sekolah.

 

UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, pada paragraf keempat, menyatakan alasan nasionaltujuan. Salah satu tujuannya adalah sebagaimana tercantum dalam pernyataan “mendidik kehidupan bangsa”. Selanjutnya dianalisis,pernyataan mengandung arti yang cukup dalam. Mendidik kehidupan nasional membawa pesan pentingnyapendidikan untuk semua orang Dalam kehidupan sipil, pernyataan ini menyampaikan sebuah pesan untuk administrator negara dan keseluruhannyaorang agar memiliki kemampuan berpikir, mengambil sikap, dan berperilaku cerdas baik dalam masalahpemecahan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan negara, nasional, dan sosial.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai operasionalyayasan berisi pesan yang berkaitan dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Pasal 3 ayat (2) tentang fungsi dan sasarandari bangsa, terungkap bahwa:Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, karakter, dan peradaban bangsa di upaya untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya, dan ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik sehingga mereka dapat berkembangmenjadi orang yang dijiwai dengan nilai-nilai kemanusiaan, yang setia dan saleh kepada satu dan hanya Tuhan; siapa yang punyamoral dan karakter mulia; yang sehat, berpengetahuan, kompeten, kreatif, mandiri; dan sebagaiwarga negara, demokratis dan bertanggung jawab.

 

Penyediaan Pendidikan Kewarganegaraan dalam UU Sisdiknas sebagai mata pelajaran wajib bagi

sekolah dasar dan menengah dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang TinggiInstitusi Pendidikan untuk Pendidikan Kewarganegaraan di institusi pendidikan tinggi semuanya menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraanmata kuliah dan kursus menempati posisi strategis dalam memenuhi tujuan pendidikan nasional negara ini. Untukarah perkembangannya, harus difokuskan pada pengembangan siswa menjadi orang Indonesia yang memilikikebanggaan dan rasa cinta tanah air.

 

  1. Dasar kurikuler

Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionaltelah memicu dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan sistem kurikulum di Indonesia. Salah satu implikasinyaadalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. ItuPeraturan Pemerintah menetapkan kriteria minimum untuk sistem pendidikan di seluruh wilayah di bawahyurisdiksi Republik Indonesia. Menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan NasionalStandar digunakan sebagai pedoman pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan, danketentuan fasilitas dan peralatan, manajemen, dan pendanaan. Dengan demikian, standar tersebut telah memberikan implikasipenerapan sejumlah standar pendidikan.

 

Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang NasionalStandar Pendidikan, ditetapkan bahwa standar nasional mencakup cakupan: (1) standar isi; (2)Standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5)

Standar fasilitas; (6) standar manajemen; (7) standar pendanaan; dan (8) Standar penilaian pendidikan.Implikasi dari ketentuan ini adalah penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22tentang Standar Isi dan no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. MenteriPeraturan inilah yang telah dijadikan landasan operasional (referensi) bagi setiap unit pendidikan dalam pengembangannyakurikulum diimplementasikan di institusi.

 

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untukPendidikan Dasar dan Menengah, pokok bahasan tentang Pendidikan Kewarganegaraan adalah salah satu fokus pada warga negara cetak yangmemahami dan mampu memenuhi hak dan kewajiban mereka untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,dan dengan karakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Subjek Kewarganegaraan    bermaksuduntuk mengembangkan siswa memiliki kemampuan untuk

(1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menghadapi masalah kewarganegaraanMasalah;

(2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan sosial, nasional, dan negara,serta pemberantasan korupsi;

(3) Mengembangkan secara positif dan demokratis untuk membentuk diri mereka berdasarkankarakter orang Indonesia dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain; dan

(4) Berinteraksi dengannegara lain di tingkat internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan memanfaatkan informasi danteknologi komunikasi.

 

Dalam diskusi yang diadakan oleh Tim Proyek Penelitian Pendidikan Kewarganegaraan mengenai buku kewarganegaraan yang digunakan di sekolah dasar, sekolah menengah pertama,dan sekolah menengah atas, nampak bahwa warga sipil disamakan dengan:

(a) Konstitusi (Senior SecondarySekolah Kurikulum, 1968),

(b) Pancasila (Sekolah Menengah Kurikulum, 1968),

(c) Sejarah NasionalKebangkitan, Sejarah Kemerdekaan Perjuangan, Konstitusi, dan Pancasila (SMPKurikulum 1968, Buku Kewarganegaraan untuk Sekolah Menengah Pertama), dan

(d) Etika, Sejarah (buku teks untuk sekolah dasarsekolah). Selanjutnya, dalam Kurikulum 1975, istilah Pendidikan kewargaan Negara / Pendidikan Kewarganegaraandiubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila / PMP (Pendidikan Moral Pancasila), yang mengandung bahanPancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Menanamkan dan Pelaksana Pancasila.

 

Perubahannya sesuaidengan misi pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh MPR No. II / MPR / 1978.Pendidikan Moral Pancasila adalah wajib untuk SD, SMP, pendidikan usia guru sekunder,dan sekolah kejuruan. Subjek terus dipertahankan baik atas nama dan isinya sampaiImplementasi Kurikulum 1984, yang pada dasarnya merupakan versi halus Kurikulum 1975 1975.

 

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menetapkan isi kurikulumPendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib untuk kurikulum dari semua tingkatan, jalur, danjenis pendidikan (Pasal 39) dan kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994 telah diakomodasimisi pendidikan baru melalui pengenalan subjek Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan.

 

Dalam perkembangan paradigma pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, di 1975/1976, Pendidikan Moral Pancasilamuncul, yang visi dan misi yang berorientasi pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945Konstitusi. Kondisi ini tetap sampai penyempurnaan Kurikulum Pendidikan Moral Pancasila1975/1976 ke dalam Kurikulum 1984, dengan visi dan misi yang sama namun merupakan konten baru dari Pedoman untukMenanamkan dan Pelaksana Pancasila atau Eka Prasetya Pancakarsa, termasuk 36 item dari nilai-nilai Pancasila.Meskipun demikian, visi dan misi masih dimuat dengan nilai inkulcation, yang pada dasarnya adalah sebuahimprovisasi indoktrinasi yang tak terhindarkan.

 

Dengan transformasi Pendidikan kewargaan Negara / Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pendidikan MoralPancasila / Pendidikan Moral Pancasila, baik dalam Kurikulum 1975/1976 dan Kurikulum 1984, pengembangankebajikan kewarganegaraan dan budaya kewarganegaraan dalam praktik demokrasi yang seharusnya menjadi identitas Pendidikan Kewarganegaraantelah berubah sesuai dengan pendidikan moral, yang pada kenyataannya tidak dapat dielakkan dari konteks pendidikantujuan, nilai, dan konsep demokrasi. Transformasi terjadi, seperti halnya dengan perubahan padaKurikulum 1968 dan Kurikulum 1975, antara lain karena perkembangan paradigma dalam pendidikan kewarganegaraanyang menjadi dasar dan pedoman pengembangan kurikulum.

 

Kondisi sebenarnya berlanjut sampai perubahan Pancasila Pendidikan Moral Kurikulum 1984 ke

Kurikulum Pancasila dan Kewarganegaraan    tahun 1994, yang meskipun namanya meliputi pendidikan Pancasila danPendidikan kewarganegaraan sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989, karakteristik kurikuler masih sarat dengan pendidikanPancasila moral dan, didominasi oleh proses nilai penanaman dan penyebaran pengetahuan.

 

Karakteristik dapat diamati dalam profil kurikulum Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (Departmen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1993) sebagai berikut:

Di sekolah dasar, Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) bertujuan untuk “Mengolah sikap dan perilaku sehari-hariberdasarkan nilai-nilai Pancasila, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, dan membekali siswa dengankemampuan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama “(Departmen Pendidikan dan Kebudayaan,1993: 1). Sementara di sekolah menengah pertama, PPKn bermaksud untuk “Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dimemahami dan menghargai nilai-nilai Pancasila dalam upaya molding sikap dan perilaku”.

 

  1. Diskusi

Setiap negara dan negara mengakui pentingnya pembangunan karakter nasional dalam upaya mempertahankandan mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Di Indonesia, Bung Karno telah berhasil membudidayakan benihKarakter nasional yang berkembang di Republik ini terbukti dengan keberhasilan perjuangan memproklamirkanKemerdekaan Republik Indonesia. Upaya pengembangan karakter warga pada dasarnya adalah sebuah prosesmewarisi nilai-nilai nasional, tujuan, dan tujuan yang terkandung dalam konstitusi negara dan juga dalam pesan-pesannyadari bapak pendiri. Tujuannya, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, adalah mewujudkan warga negara yang adacerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan bernegara dan negara demi tercapainya kemuliaan dankehebatan kemerdekaan (Sapriya, 2008, hlm. 208-210).

 

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Kewarganegaraan    mempersiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik yang menguasai kewarganegaraanpengetahuan yang berasal dari konsep dan teori multidisiplin, yang percaya dan mentransformasikan ilmu,dan mempraktikkan nilai dan kebenaran yang menjadi kebajikan kehidupan nasional dan negara, dan siapa yang bisa melamarketerampilan kewarganegaraan (Maftuh & Sapriya, 2005, hal 319). Selain itu, Kewarganegaraan    merupakan pengembangan pendidikankarakteristik warga negara melalui pengajaran peraturan dan lembaga sosial dan nasional (Kalidjernih, 2010, hal.130).

 

Pendidikan Kewarganegaraan juga disebut pendidikan kewarganegaraan, yang menurut Cogan (1999, hal.4), pada umumnya mengacu pada”jenis pekerjaan saja yang terjadi dalam konteks struktur sekolah formal”, seperti”Kewarganegaraan” di kelas sembilan dan “Masalah Demokrasi” di kelas dua belas. Dalam posisi ini, “Pendidikan Kewarganegaraan”diperlakukan sebagai “… kursus dasar bekerja di sekolah” yang dirancang untuk mempersiapkan “… warga muda untuk sebuahperan aktif di komunitas mereka di masa dewasa mereka “.

 

Sementara itu, “Pendidikan Kewarganegaraan” atau “pendidikan untukkewarganegaraan “dipandang sebagai” … istilah yang lebih inklusif dan mencakup kedua pengalaman di sekolah ini jugaSebagai pembelajaran di luar sekolah atau ‘nonformal / informal’ yang terjadi dalam keluarga, di organisasi keagamaan,organisasi kemasyarakatan, dan mediahelp untuk membentuk kepribadian warga “, tesis yang disebut sebagai”Pendidikan kewarganegaraan” atau “pendidikan kewarganegaraan”. Oleh karena itu, Cogan (1999, hal 5) menyimpulkan bahwa “… pendidikanBagi kewarganegaraan adalah konsep menyeluruh yang lebih luas di sini, sementara pendidikan kewarganegaraan hanyalah satu bagian, meski sangatbagian penting, pembangunan seseorang sebagai warga negara “.

 

Dalam kurikulum, Kewarganegaraan    menurut Winataputra dan Budimansyah (2007, hal 126) “dirancang sebagaisubjek instruksional yang bermaksud mengembangkan potensi individu untuk menjadi warga negara Indonesia yang muliamoral, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab “. Pandangannya bereplikasi dengan Dewey (1940), siapamenjelaskan, “Kewarganegaraan dalam sebuah negara demokratis bukan hanya sebuah kondisi; Ini adalah kantor. Kami, oleh karena itu, tidak hanya memilikihak, tapi juga tanggung jawab “(Covaleskie, 1994, hal 8).

 

Menurut Winataputra dan Budimansyah (2007), Pendidikan Kewarganegaraan telah menjadi bagian yang inheren darialat praktis pendidikan nasional Indonesia dalam lima posisi:

Pertama, sebagai subjek di sekolah-sekolah.

Kedua, sebagaisubjek saja di lembaga-lembaga pendidikan tinggi.

Ketiga, sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu sosial dikerangka program pendidikan guru.

Keempat, sebagai program pendidikan politik yang dikemas dalam bentukPedoman menanamkan dan Pelaksana Pancasila atau sejenisnya yang dikelola oleh Pemerintah sebagai kecelakaanprogram.

Kelima, sebagai kerangka konseptual dalam bentuk pemikiran individu dan pakar kelompok, dikembangkan sebagailandasan dan kerangka teoritis untuk pendidikan kewarganegaraan dalam pertama, kedua, ketiga, dan posisi keempat.

 

Kewarganegaraan    dibangun di atas paradigma dasar sebagai berikut:

Curricularly, Kewarganegaraan    dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu menjadiwarga negara Indonesia yang mulia dalam moral, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab.

 

Secara teoritis, Kewarganegaraan    dirancang sebagai subjek yang berisi kognitif, afektif, dandimensi psikomotor yang konfluen atau penetrasi sama lain dan terintegrasi dalam kontekside, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan pertahanan nasional.

Pemrograman, Kewarganegaraan    dirancang sebagai subjek menekankan pada konten embedding nilai-nilai danpengalaman belajar dalam bentuk berbagai perilaku yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan berada disaat yang sama tuntutan bagi warga di sosial, kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai realisasi lebih lanjut dari ide-ide nilai-nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan pertahanan nasional.

Budimansyah dan Suryadi (2008, p. 11) menjelaskan bahwa dalam hal fungsi, subjek Kewarganegaraan    memilikitiga misi besar, yaitu:

Pertama, pendidikan konservasi, yaitu mengembangkan dan mempertahankan nilai-nilai luhur Pancasila

Kedua, sosial dan moral pembangunan, yaitu mengembangkan dan membimbing siswa untuk menyadari hak-hak merekadan tanggung jawab, taat kepada aturan yang berlaku, dan sopan.

Ketiga, fungsi pembangunan sosial-kemasyarakatan, yaitu mengembangkan siswa untuk memahami dan menjadimenyadari hubungan mereka dengan anggota lain dari keluarga, sekolah dan masyarakat, dan di nasional-negarakehidupan.

 

Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Budimansyah dan Suryadi (2008, p. 68) bahwa “Kewarganegaraan    adalah salah satu bidangstudi yang melaksanakan misi nasional mendidik kehidupan masyarakat Indonesia melalui koridorberdasarkan nilai-pendidikan. ”Kewarganegaraan   , selain membawa misi mempertahankan nilai-nilai luhur Pancasila,memiliki misi mengembangkan siswa untuk memahami hak dan tanggung jawab mereka dan dapat posisidiri untuk menjadi warga negara yang baik.orang Indonesia yang komunitarian di alam, percaya bahwa sekelompok orang atau bangsa memiliki sejumlahnilai-nilai bersama, bukan hanya kumpulan nilai-nilai individu (Winarno, 2011, hlm. 29). Di Indonesia, nilai-nilai bersamaadalah nilai-nilai Pancasila.

 

Oleh karena itu, Kewarganegaraan Pendidikan harus berorientasi pada upaya peran pemahaman seseorangdan tugas-tugas di masyarakat dan melaksanakan nilai-nilai dianggap benar oleh masyarakat. Hal ini dalam hubungannya denganPenjelasan Hardee (2010, p.9) yangKewarganegaraan bukan tentang mengajar anak-anak bagaimana taat tetapi membantu mereka memahami peran mereka dalammasyarakat.Fungsi mereka tidak identik dengan “tempat mereka” seperti yang didefinisikan oleh ras, kelas, atau jenis kelamin.

 

Kewarganegaraan ini tidak terlepas dari hasil belajar akademik. Anak-anak yang memahami tanggung jawab merekadalam masyarakat intrinsik keinginan kemahiran dan penguasaan di kurikulum.

Di Inggris, apa yang telah menjadi isu belajar mengajar di sekolah adalah pendidikan karakter, seperti yang diungkapkanoleh Revell dan Arthur (2007, p. 80), yang mengungkapkan, “Pengenalan Pendidikan Kewarganegaraan dan perubahanKurikulum nasional di Inggris telah mengangkat isu pendidikan karakter sebagai pendekatan yang mungkin untukpengajaran pendidikan moral di sekolah”. Namun, belum ada pemahaman bersama tentang Kewarganegaraan   dan Pendidikan Karakter.

 

Di satu sisi, Kewarganegaraan Pendidikan dianggap bagian dari Pendidikan Karakter; diPendidikan tangan, karakter lainnya diduga menjadi bagian dari Pancasila Pendidikan.Di Inggris sendiri, KarakterPendidikan adalah bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan, seperti yang ditunjukkan oleh Revell dan Arthur (2007, p. 79), “Sementarapendidikan karakter dipandang sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum sekolah di Inggris.Namun demikian,Pendidikan Kewarganegaraan tidak harus memperluas konsep dengan mengembangkan karakter, seperti dikutip dari Revell danArthur (2007: 81), “Diambil dengan tujuan Kurikulum Nasional seluruh dan pengenalan KewarganegaraanPendidikan ada konsep yang muncul dan memperluas pembangunan karakter tapi ada tidak adanyakesepakatan mendasar pada pembenaran dan konten”.

Menurut Winarno (2011, p. 29), Pendidikan Karakter di Indonesia memandang nilai-nilai sebagai sumber dan pendidikankonten sebagai sesuatu yang ideal, yang penting, dan harus dikembangkan oleh siswa sendiri melalui prosesintervensi dan habituasi. Seperti ide mencerminkan lebih absolutisme moral ketimbang relativisme moral:“Pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan kebajikan-manusia keunggulan-sebagai dasar dari tujuan, produktif,dan memenuhi kehidupan dan adil, penuh kasih, dan masyarakat berkembang”(Su, 2008, hal. 111). “Ungkapan ‘karakterpendidikan’ memiliki setidaknya dua arti. Dalam arti luas, mengacu pada hampir semua hal yang sekolah mungkin mencoba untukmenyediakan luar akademisi, terutama ketika tujuannya adalah untuk membantu anak-anak tumbuh menjadi orang yang baik”(Kohn,1997, p. 429). Fokus pengetahuan karakter pendidikan adalah lebih pada konsep moral, sopan santun dan kesopanan, yangkewarganegaraan basis pengetahuan pendidikan lebih berfokus pada politik, pemerintah dan saling ketergantungan socialhidup (Althof & Berkowtz, 2006, hal. 512)Keterkaitan Pendidikan Kewarganegaraan dan sarana pendidikan karakter (1) Kewarganegaraan    didefinisikan sebagaikontribusi pendidikan terhadap perkembangan karakteristik yang menunjukkan warga negara; (2) Kewarganegaraan    ditujukanuntuk mewujudkan pembentukan karakter warga negara yang diinginkan atau diharapkan oleh bangsa; (3) Pendidikan dan Kewarganegaraanpendidikan karakter memiliki satu perspektif dan ruang lingkup; (4) Kewarganegaraan    mengakui kebutuhan dan atribut danmenghormati kebijakan, tanggung jawab, keadilan, kejujuran, kepedulian, loyalitas, dan komitmen untuk cita-cita demokrasi; dan(5) Kewarganegaraan    habituates individu untuk menjadi lebih terbiasa dengan partisipasi mereka dalam masyarakat, bangsa,dan dunia global (Machfiroh 2011, p. 94). Dalam kesempatan lain, dijelaskan bahwa hubungan antara karakterdan pendidikan kewarganegaraan diperkuat dalam dokumen kebijakan lainnya. Namun, karakter dan kewarganegaraan pendidikanberbagi beberapa asumsi tentang pendidikan moral dan peran sekolah (Revell & Arthur, 2007, hal. 80).

 

Jika, memang, tujuan bersama dari kedua pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan karakter adalah untuk mendorong pengembanganjenis warga yang baik pro-sosial dan efektif berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi liberal, maka,dan hanya kemudian, dapat kita optimal merancang sekolah dan program sekolah yang mendorong orang-orang baik dan warga negara yang baik(Althof & Berkowtz, 2006, hal. 513).

 

Tidak ada istilah khusus untuk “pendidikan kewarganegaraan” di Republik Rakyat Cina. Kewarganegaraan    khasCina melekat dalam pendidikan moral. pendidikan moral ini selalu terkait dengan kehidupan politik di Cina. dalam Leedan Ho (2005, p. 413) observasi serta Bai (1998, p. 525), istilah “pendidikan moral” (daodejiayou) adalahjuga dikenal sebagai pendidikan ideologi (sixiangjiaou) atau pendidikan politik (zhengzhijiayou) atau ideopoliticalpendidikan, sehingga kualitas moral seperti dua sisi mata uang, yaitu kualitas ideomoral dan atau207moral ideopolitical adalah sama ( sixiangzhengzhisuzhi ) (Samsuri, 2007, hal. 63).

 

Sapriya (2007, p. 12) menyebutkan setidaknya dua tantangan cukup sulit dalam pembentukan masyarakat Indonesiadengan karakter. Pertama, tantangan sejarah, yaitu kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakangkolonialisme dan imperialisme. Untuk mengubah cara berpikir, bertindak, dan berperilaku yang kunobudaya masyarakat yang feodalistic ke dalam cara-cara masyarakat demokratis tidak mudah. Kedua,

memelihara dan atau mempertahankan budaya masyarakat dan warga negara yang belajar untuk hidup demokratis merekahidup sehingga kehidupan seperti dapat terus ditransfer ke generasi berikutnya.

 

Kritik dari pendekatan dilema moral berpendapat bahwa nilai-nilai klarifikasi dipromosikan “relativisme etis karenasiswa didorong untuk alasan melalui situasi yang menyajikan pilihan moral buatan dan dilema”(Lockwood,1997, p. 74). Mantan Presiden William Jefferson Clinton, pada tahun 1997 State of the Union Address, menekankanperlunya pendidikan karakter sebagai salah satu dari sepuluh poin pusat tentang reformasi pendidikan (Berkowitz, 1998, hal. 1).

 

Budimansyah (2010, p. 69) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter di kelas diimplementasikan dalam subjekpendidikan kewarganegaraan atau mata pelajaran lainnya. Khusus untuk Kewarganegaraan    yang secara teoritis dirancang sebagai subjekmengandung dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang anak sungai di alam atau menembus setiaplain dan terintegrasi dalam hal ide, nilai, konsep, dan moral, tentu harus melahirkan dua dampaksecara bersamaan, yaitu instruksional dan pengiring dampak.

 

Pada pertengahan 1940-an, John Dewey menganjurkan pelatihan moral dan pembangunan di sekolah-sekolah umum dalam konteks“Kehidupan masyarakat.” Pendidikan moral berpusat pada konsepsi sekolah sebagai “modus kehidupan sosial, yang terbaik danpelatihan moral yang terdalam justru yang mana yang akan melalui harus masuk ke dalam hubungan yang tepat dengan

orang lain dalam satu kesatuan kerja dan pemikiran”(Dewey, 1940, hlm. 8).Sejalan dengan Dewey, Smith mengatakan, “Gandhi percaya bahwa pendidikan, karakter, dan agama harus dilihat sebagaiistilah tukar. Tidak ada pendidikan sejati yang tidak cenderung menghasilkan karakter, dan tidak ada agama yang benaryang tidak menentukan karakter”(1993, p. 147).

 

Selanjutnya, GALLIEN dan Jackson menegaskan, “dengan memanfaatkan perspektif Afrika-Amerika tentang isu-isu karakterdikombinasikan dengan pedagogi responsif secara kultural, pendidik dapat memiliki dampak positif pada pendidikan karakterProgram di daerah perkotaan”(2006, hal. 131). Akhirnya, pada tahap tertinggi, hati nurani anak menentukan apa yangBenar dan salah. Di sini, menghormati kehidupan individu dan martabat manusia membimbing prinsip-prinsip”(Kohlberg, 1981, p.53).

 

 

  1. Kesimpulan

Kewarganegaraan    adalah berdasarkan nilai-berasal pendidikan dari kristalisasi dari sistem nilai nasionalbudaya (Pancasila). Pendidikan Kewarganegaraan sebagai subjek di sekolah-sekolah dan kursus di lembaga pendidikan tinggi biasmengorientasikan siswa untuk akuisisi karakter, karakter akhirnya nasional sebagai negara yang bersatu, agama,dan humanis.

 

Dengan fungsi Kewarganegaraan    sebagai fasilitator pembangunan karakter nasional dan budidaya, itu adalahDiharapkan warga negara Indonesia di masa depan dapat mencerminkan warga yang mampu mempraktekkan budaya nasionalnilai-nilai, yaitu Pancasila.

 

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Kewarganegaraan    sebagai media untuk karakter nasional pengembangan terletak di komitmen dan kualitas mereka yang menerapkannya dan dalam metode pembelajaran.

Fenomena ini menandakan perlunya studi lebih lanjut difokuskan pada pelaksanaan dan evaluasi kebijakanonthe pelaksanaan Kewarganegaraan   . Diharapkan pelaksanaan Kewarganegaraan    di masa depanakan lebih efektif, sehingga karakter nasional yang kuat dapat dikembangkan.

 

 

Referensi

Althof, W., & Berkow, WA (2006). Pendidikan Moral dan Karakter Pendidikan: Hubungan mereka dan Peran dalamKewarganegaraanPendidikan.

JurnaldariMoralPendidikan,35 (4),495-518.

Azra, A. (2001). Pendidikan Akhakdan Budi Pekerti: Membangun Kembali Moral Bangsa.

MakalahdalamBuletin Mimbar Pendidikan, UPI Bandung No 1 tahun XXX.

Bai, L. (1998). Reward moneter Versus Agenda Ideologi Nasional: Karir Pilihan antara Cina

UniversitasSiswa.

JurnaldariMoralPendidikan,27 (4),525-540.Berkowitz, MW (1998). Mendidik untuk karakter dan demokrasi: Sebuah pengantar praktis.

Inucci Morall’dBudimansyah, D. (2010). Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Karakter Bangsa.

Bandung: Widya Aksara Press.

Budimansyah, D., & Suryadi, K. (2008). Pendidikan Kewarganegaraan Masyarakat Dan Multikultural. Bandung:

Sekolah Pascasarjana Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia.

Cogan, JJ (1999). Mengembangkan Kewarganegaraan Masyarakat: Peran Kewarganegaraan   . Bandung: CICED.

Covaleskie, JF (1994). Dewey, disiplin, dan demokrasi [Versi elektronik]. Filsafat Pendidikan, 1 8.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1993). Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor060 / u / 1993. Jakarta. Depdikbud.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994). Kurikulum Sekolah Menengah Atastahun 1994. Jakarta.

Depdikbud.Deroche, EF, Sulivan, BL, & Garrett, SD (1999). Matters karakter: Menggunakan Koran MengajarKarakter. San Francisco: Gunakan News.

Desain Induk Pendidikan karaker Kementerian Pedidikan Nasional Tahun 2010, p. 29 [Grand DesignPembangunan karakter 2010, p. 29]

Dewey, J. (1940). Pendidikan Hari ini. New York: Van Rees Press.

GALLIEN, LB, & Jackson, L. (2006). Pembangunan karakter dari Perspektif Afrika-Amerika: MenujuPendekatan Counternarrative. Jurnal Pendidikan dan Christian Belief, 10 (2), 129-142.

Hardee, DR (2010). Pedagogi Passionate: Memahami Dampak Guru Nilai dan Keyakinan di

Kewarganegaraan / Pendidikan Karakter Untuk Anak Warna (tidak diterbitkan disertasi). Mills College.

Kalidjernih, FK (2010). Kamus Studi Kewarganegaraan Perspektif Sosiologikal Dan Politikal. Bandung:Widya Aksara Press.Kerr, D. (2005). Pendidikan Kewarganegaraan di Inggris-Listening o Remaja: Insight baru dari kewarganegaraan yangPendidikan Longitudinal Study. International Journal of Kewarganegaraan dan Pendidikan Guru, 1 (1), 74-96.

Kohlberg, L. (1981). Esai tentang perkembangan moral: The psikologi perkembangan moral (Vol II.). SanFrancisco: Harper dan Row.

Kohn, A. (1997). Bagaimana Tidak Mengajar Nilai: Sebuah kritis melihat pendidikan karakter. Phi Delta Kappa, 78,

428-436.

Lee, WO, & Ho, CH (2005). Pergeseran Ideopolitical dan Perubahan Kebijakan Pendidikan Moral di Cina. Journal of

Pendidikan Moral, 34 (4), 413-431. http://dx.doi.org/10.1080/03057240500410160

Lockwood, AL (1997). Sebuah surat kepada pendidik karakter. Pendidikan Kepemimpinan, 51, 72-75.

Machfiroh, R. (2011). Revitaslisasi Karakter Bangsa through Pendidikan Kewarganegaraan DENGAN

Pengembangan Budaya Lokal. Jurnal Aca KEWARGANEGARAANUS, 4 (2), 75-98.

Maftuh, B., & Sapriya. (2005). Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan through Pemetaan KONSEP. Jurnal

KEWARGANEGARAANUS, 1 (5), 319-328.

McDonnell, G., & Russell, AD (1999). Antiseptik dan Desinfektan: Kegiatan, Aksi, dan Resistance .

Revell, L., & Arthur, J. (2007). Pendidikan Karakter di Sekolah dan Pendidikan Guru. Journal of Moral

Pendidikan, 36 (1), 79-92. http://dx.doi.org/10.1080/03057240701194738

Rohayani, I. (2010). Pengaruh Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dan Pendidikan

Interventifterhadap Karakter Warga Negara Muda. Jurnal Acta KEWARGANEGARAANUS, 4 (1), 1-16.

Sabarudin. (2010). Pengaruh Pembelajaran KONSEP Demokrasi Berbasis Sketsa Kewarganegaraan Terhadap

Upaya Membangun Karakter Unggul Siswa SMA. Jurnal Acta KEWARGANEGARAANUS, 4 (1), 61-82.

Samsuri. (2007). Kewarganegaraan    Berbasis Pendidikan Moral di Cina. Jurnal Acta KEWARGANEGARAANUS, 1 (1), 63-76.

Sapriya. (2007). Kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan hearts Konteks Filsafat Pendidikan. Jurnal KEWARGANEGARAANUS,

2 (9), 619-625.

Sapriya. (2008). Perspektif Pemikiran Pakartentang Pendidikan Kewarganegaraan hearts Pembangunan KarakterBangsa. Jurnal Acta KEWARGANEGARAANUS, 1 (2), 207-223.

Smith, BD (1993). Dapat kebajikan diajarkan? South Bend IN: University of Notre Dame Press.

Somantri, MN (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung. Penerbit PT Remaja Rosdakarya.

Su, B. (2008). Perbandingan dan Penelitian di Sino-AS Pendidikan Karakter. Journal of Asian Social Science,4 (10), 111-115.

Suryabrata, S. (1983). Metode Penelitian. Jakarta: CV Rajawali.

Winarno. (2011). Pendidikan Karakter Di Indonesia dalam Perspektif Filsafat Moral dan Filsafat Pendidikan.

Jurnal Aca KEWARGANEGARAANUS, 4 (2), 1-32.Winataputra, US (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Waha Sistemik Pendidikan Demokrasi:

Suatu Kajian Konseptualdalam Konteks Pendidikan IPS (tidak diterbitkan disertasi). Universitas PendidikanIndonesia.

Winataputra. & Budimansyah. (2007). Kewarganegaraan    (Konteks, Landasan, Bahan Ajar Dan Kultur Kelas).

Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.

Catatan tentang Kebijakan Pemerintah di Indonesia:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketetapan MPR No.II / MPR / 1978 TENTANG Pedoman Penghayatan Dan Pengalaman Pancasila.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 TENTANG Perguruan Tinggi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tenatng Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 TENTANG Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2006 TENTANG Standar Isi.

Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2006 TENTANG Standar Kompetensi Lulusan.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 TENTANG Standar Nasional Pendidikan

id_IDIndonesian