MENANAMKAN LITERASI ANAK USIA DINI UNTUK BEKAL SEPANJANG HAYAT

Anak  adalah investasi masa depan. Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya berhasil, berbagai cara akan dilakukan untuk membuat anak-anaknya menjadi anak yang berhasil dan membanggakan. “Berhasil” dan “membanggakan” terkadang ini menjadi obsesi orangtua. Sehingga menjebak orangtua pada paradigma jika anaknya mengungguli orang lain maka dia telah berhasil. Kalimat ini  sebetulnya tidak sepenuhnya tidak tepat. Hanya saja terkadang untuk memenuhi obsesinya ini orangtua lupa akan kebutuhan apa yang sebetulnya diperlukan anak, ditambah lagi keinginan orangtua yang seringkali tidak sejalan dengan keinginan dan kebutuhan anak. Mengapa? Karena khususnya di Indonesia, pada umumnya orangtua masih berpikir profesi-profesi tertentu saja yang dapat dikatakan berhasil, seperti dokter, polisi, PNS, dan lain-lain yang akibatnya mempersempit makna keberhasilan atau kesuksesan itu sendiri.

Hal ini pula yang terjadi pada pendidikan anak usia dini. Menurut orangtua di Indonesia pada umumnya anak yang berhasil itu anak yang sudah pandai membaca, menulis dan berhitung (calistung). Untuk itu tidak heran jika orangtua mengikutkan anak-anak les calistung. Sehingga bertebaranlah tempat-tempat yang menyediakan les calistung termasuk lembaga sekolah pun di lembaga pendidikan anak usia dini. Calistung adalah bagian dari literasi, juga kecakapan hidup yang harus dimiliki setiap orang. Namun pertanyaannya kapankah dan bagaimana cara dan waktu yang tepat untuk mempelajarinya?

Apakah literasi anak usia dini? Literasi berasal dari bahasa Latin, literatus, yang berarti “a learned person” atau orang yang belajar. Secara bahasa, literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dalam bahasa Inggris, literacy artinya kemampuan membaca dan menulis (the ability to read and write) dan kompetensi atau pengetahuan di bidang khusus (competence or  knowledge in a specified area). Maka dapat disimpulkan literasi anak usia dini artinya kemampuan membaca dan menulis anak usia dini.

Pertanyaannya “apakah putera-puteri kita telah siap membaca?” Seorang anak dapat dikatakan sudah siap membaca jika dia sudah menunjukkan ketertarikan kepada huruf, bunyi dan kata, menunjukkan ketertarikan akan buku, misalnya mau membuka-buka buku sampai akhirnya mampu membuka buku dengan baik dan benar,  mau menyimak ketika kita membacakan buku, menirukan membaca buku meski tidak sama persis seperti cerita sebenarnya bahkan mungkin tidak sesuai ataupun mungkin diimprovisasi sesuai gayanya (muncul dari dalam diri anak tanpa dibuat-buat), mengenal huruf dan bunyinya, dapat mengenal namanya sendiri, mengenal kata-kata yang dekat dengan lingkungan sekitarnya dalam huruf cetak, dapat mengulang kalimat utuh yang terdiri dari sekurang-kurangnya delapan huruf berurutan, hafal beberapa saja kanak-kanak lagu dan cerita.

Jika putera-puteri kita telah menunjukkan ciri-ciri diatas maka dapat dikatakan seorang anak telah siap belajar membaca. Sehingga tidak terjadi lagi pemaksaan kematangan yang akan mengakibatkan anak merasa dipaksa, tercerabut hak-hak asasinya dan merasa jenuh bahkan stres yang mengakibatkan anak-anak kita kelak malas membaca. Bukan pandai membaca usia dininya yang penting, tapi minat membaca yang tinggi, ketika mereka tidak pernah bosan untuk setiap hari dibacakan buku bacaan bahkan meminta, memilih sendiri buku bacaannya, menunjukkan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresifnya dengan gaya mereka yang tetap kanak-kanak.  oleh orangtua, pendidik dan masyarakat adalah  kemampuan membaca bukan untuk masuk SD tetapi untuk membaca kehidupan sepanjang hayat.

Rujukan

www.komunikasipraktis.com

Keterangan: Ditulis pada bulan Februari 2018 diterbitkan di Buku Antologi SGI Menulis

Tinggalkan Komentar

id_ID
Scroll to Top