Artikel Umum

PARADOKS PENDIDIKAN: PENDIDIKAN KONSTRUKTIF YANG MATERIALIS

Dipublikasikan pada : 8 Maret 2018.

 

Ada hal menarik dalam dunia pendidikan yang tetap menjadi kontroversi hingga saat ini, yaitu tentang pelaksanaan UN. Sudah menjadi lagu lama jika pelaksanaan UN senantiasa memunculkan persoalan. Persoalan teknis hingga psikologis. Namun, entah ada kepentingan apa sehingga UN sebagai penentu kelulusan siswa masih saja dipertahankan. Mungkinkah materialisme sedang menguasai dunia pendidikan saat ini?

Revitalisasi dunia pendidikan senantiasa dilakukan, contohnya revisi kurikulum senantiasa ada sejalan dengan pergantian pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan, sehingga belum tuntas satu kebijakan sudah muncul kebijakan yang lain. Baru-baru ini muncul wajah baru dalam dunia pendidikan yang diharapkan banyak orang dapat membawa pencerahan dalam kurikulum pendidikan. Wajah baru tersebut adalah kurikulum 2013 sebagai revisi dari kurikulum KTSP.

Semenjak lahirnya kurikulum KTSP, dunia pendidikan diwarnai dengan gaya belajar yang konstruktif. Model pembelajaran yang membangun keaktifan dan kreativitas siswa digembar-gemborkan, misalnya CTL, CBSA, PAIKEM, Cooperative learning, active learning, dan lain-lain menjadi model pembelajaran yang selalu menjadi topik utama dalam pelatihan atau pun penyuluhan di sekolah. Model-model pembelajaran tersebut memuat metode-metode yang membiasakan siswa aktif sebagai pelaku pembelajaran tidak hanya sebagai penerima, sedangkan guru berperan aktif sebagai fasilitator.

Model pembelajaran CTL mengajak siswa belajar melalui dunia nyata, tidak sekadar konsep. Dalam proses pembelajaran CTL, siswa dibiasakan untuk aktif, namun guru harus mahir pula menjadi fasilitator yang dapat mengarahkan siswa selama proses pembelajaran agar terarah sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai serta terarahkan. Tampaknya, model-model pembelajaran tersebut dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang konstruktif. Lantas, pendidikan yang konstruktif itu seperti apa? secara teoretis, konstruktif berarti bersifat membina atau membangun. Artinya, membina peserta didik dan dapat membangun potensi-potensinya sehingga melahirkan karya-karya hebat dari berbagai potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

Secara hakikat, saya terilhami dari buku Kosim bahwa pendidikan konstruktif berarti pendidikan yang kritis, humanis, dan religius. Manusia adalah objek pendidikan, hakikatnya manusia adalah makhluk berpikir sehingga dapat dibedakan dari hewan (Kosim, 2012 : 43). Kesanggupannya untuk berpikir ini merupakan puncak dari predikat kemuliaan yang disandang manusia. Akal pikiran merupakan alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut yang akan menjadi landasan manusia dalam berpikir kritis. Berpikir kritis dalam hal ini dapat berupa kemampuan untuk mengamati setiap peristiwa yang dialami, kemudian memikirkannya hingga menemukan suatu pelajaran berharga yang dapat dijadikan solusi untuk permasalahan hidup yang dialami.

Jika dihubungkan dengan kehidupan di luar diri manusia itu sendiri, manusia juga sebagai makhluk sosial karena seorang manusia membutuhkan manusia lain dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Dalam kehidupan sosial, interaksi sosial akan senantiasa terjadi. Interaksi sosial tersebut akan membentuk harmonisasi yang indah jika lahir dari sikap saling membantu karena adanya kesatuan tujuan. Namun sebaliknya, harmonisasi itu tidak akan tercipta jika dalam interaksi sosial diwarnai oleh prasangka, saling membenci, berselisih, sehingga memunculkan peperangan atau pertikaian. Oleh karena itu, peran pendidikan disini sangat penting untuk menciptakan individu-individu yang humanis. Pendidikan yang menciptakan tunas-tunas bangsa berpikir jernih dan kritis serta mampu berinteraksi sosial dengan baik.

Jika saya amati, arah pendidikan saat ini cenderung ke arah materialis. Sesungguhnya, jika arah pendidikan berpahamkan materialisme, maka yang disentuh oleh pendidikan adalah sebatas kebutuhan fisik manusia, tidak menjangkau kebutuhan akal dan jiwa. Sedangkan hakikat manusia sebenarnya ada pada akal dan jiwa yang dapat mengantarkannya pada kedudukan mulia. Dalam hal ini, pendidikan religius dapat diajukan sebagai solusi untuk menciptakan manusia yang paripurna sebagai manusia yang hakikatnya diciptakan untuk kembali kepada Tuhannya dengan segala pertanggungjawaban. Jika manusia ini sampai meyakini bahwa hidupnya akan dipertanggungjawabkan, maka dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup untuk hal-hal yang tidak bermakna.

Pendidikan religius ini dapat menjangkau hal-hal yang tak dapat ditelusuri secara tuntas oleh akal. Ia dapat memenuhi kebutuhan jiwa yang memiliki fitrah cenderung pada keinginan untuk menjalankan kebenaran. Jika jiwa sudah terarahkan pada hal-hal yang benar menurut standar Tuhan, maka sikap dan perlakuan dalam kehidupan pribadi maupun sosial akan ajek.

Jika saja prinsip pendidikan kritis, humanis, dan religius tersebut menjadi misi utama pendidikan di Indonesia saat ini, maka kemungkinan besar peristiwa-peristiwa miris (baca : tawuran, pergaulan bebas, narkoba) yang dilakukan anak bangsa tidak akan ada. Umumnya, peserta didik dalam lingkup sekolah, secara tidak langsung hanya mencetak mental pekerja yang akan bekerja di ujung telunjuk atasan. Kalaupun ada wacana bahwa saat ini muncul kurikulum baru dengan gaya belajar konstruktif, lalu bagaimana dengan UN yang masih saja eksis sebagai eksekutor kelulusan peserta didik selama tiga tahun mereka bersekolah? Menurut saya, UN adalah indikator bahwa arah pendidikan masih berifat materialis.

Dari tahun ke tahun pelaksanaan UN seolah menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi berbagai pihak yang berkepentingan. Jika peserta didik lulus 100%, maka eksistensi kepala sekolah menjadi naik, secara otomatis pejabat di atas kepala sekolah pun ikut melambung, berimbas pula pada nama baik daerah masing-masing. Penggelembungan nilai peserta didik sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu, bahkan menjadi rahasia umum. Tidak menutup kemungkinan kekuasaan uang pun semakin kuat. Itukah tujuan akhir pendidikan konstruktif? saya pikir, tidak. Pendidikan konstruktif seyogianya dapat menciptakan peserta didik yang mampu berpikir kritis, humanis, dan religius. Kemampuan berpikir kritis, humanis, dan religius hakikatnya tidak hanya diukur oleh tingginya nilai UN, karena nyatanya pelaksanaan UN cenderung materialistis.

 

 

 

Referensi :

 

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN : Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi. Bandung : CV Lubuk Agung.

 

Kosim, Muhammad. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun : Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta : Rineka Cipta.

 

id_IDIndonesian