Artikel Umum

Pembelajaran Wacana

Dipublikasikan pada : 22 Juni 2020.

Pembelajaran wacana sejatinya adalah pembelajaran bahasa secara utuh. Hal itu berangkat dari definisi wacana sebagai satuan bahasa tertinggi dan terlengkap yang dalam pembelajaranya bukan hanya menelaah bahasa secara internal namun juga memahami bahasa dari aspek eksternalnya. Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan Hoed ( Zaimar dan Harahap, 2005) bahwa sejatinya bahasa yang sesungguhnya bukanlah kalimat melainkan wacana. Oleh karena itu, pembelajaran wacana menjadi bagian dari pembelajaran bahasa yang sangat penting bahkan terlampau penting

Pembelajaran wacana bermula dari pembelajaran kosakata hingga wacana itu sendiri dalam pembelajaran wacana setiap aspek bahasa diajarkan. Pada sekup yang lebih luas pembelajaran wacana dapat disejajarakan dengan pembelajaran literasi yang memfokuskan bagaimana seseorang harus mampu mencerna dan memahami informasi dari (sumber) data yang berbentuk bahasa. Pembelajaran wacana sebagai salah atau upaya meningkatkan literasi masyrakat Indonesia harus terus ditingkatkan dengan berbagai upaya dan inovasi pembelajaran baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembelajaran. Sebagimana data PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2018 yang diumumkan OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development tentang kemampuan literasi berada di peringkat 72 dari 78 negara yang terdata. Kemampuan liteari yang dimaksud adalah kemampun literasi membaca. (Kompas.com, 2019). Hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. Salah satu upaya untuk meningkatkan literasi membaca adalah dengan meningkatkan kualitas pembelajaran wacana. Sebagaimana yang ditegaskan Latif (2009:3) bahwa bahasa dalam konteks rumah kehiduapan sebagaimana ucapan filsuf Martin Heidegger, maka perjuangan apapun bermula dari bebenah kata, bahasa, dan susastra.

Sebetulnya pemerintah dan semua elemen yang terlibat dalam pendidikan telah banyak melakukan upaya meningkatkan mutu pendidikan khusunya literasi. Contohnya dengan berbagai kebijakan kurikulum pembelajaran bahasa di sekolah dan berbagai program-program yang berkaitan dengan literasi seperti program penyuluhan, seminar, atau workhop yang sering diselenggarakan. Bentuk nyata dari  upaya untuk meningkatkan literasi membaca, tampak pada pembelajaran bahasa di sekolah menengah atas yang berbasis pada kurikulum 2013 mengedepakan pembelajaran bahasa berbasis teks/wacana.  Pembelajaran bahasa berbasis teks tersebut pada dasarnya mengintegrasikan berbagai aspek mulai dari aspek  sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Jadi, pembelajaran berbasis teks tersebut sudah sangat tepat dilaksanakan apalagi bila ditunjang dengan kesdaran pendidik dan peserta didik dalam memajukan mutu pendidikan bangsa ini.

Adapun jenis-jenis teks yang dipelajari siswa SMA-MA SMK sesuai kurikulum 2013 ada 22 teks. Teks-teks tersebut meliputi: teks laporan hasil observasi, eksposisi,anekdot, cerita rakyat (hikayat), negosiasi, debat, biografi, puisi, prosedur, eksplanasi, ceramah, cerita pendek, proposal, karya ilmiah, resensi, drama, surat lamaran pekerjaan, cerita sejarah, editorial, novel, artikel, kritik sastra dan esai. Beragamnya teks yang diajarkan kepada siswa seperti demikian akan berpotensi semakin besar siswa akan dapat memahami segala bentuk informasi yang bersumber dari data bahasa. Selain itu, pembelajaran bahasa berbasis teks bukan sekadar pembelajaran rentetan kaliamat. Akan tetapi, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks siswa akan dapat menginternalisasikan nilai-nilai social dan norma-norma social yang kemudian direalisasikan dalam bentuk sikap dan keterampilan yang nyata.  Hal itu berangkat dari definisi teks yang bukan sekadar satuan gramatika semata namun teks dipahami sebagai ujaran atau satuan bahasa yang dibentuk oleh tatanan social dan memiliki fungsi sosial.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah berdasarkan kurikulum 2013 berfokus pada pengetahuan dan keterampilan tentang beragam jenis teks dengan mengintegrasikan empat unsur pembelajaran peristiwa berbahasa di dalamnya (content language integrated learning). Keempat unsur yang dimaksud dikenal dengan 4C: content, cognitive, communication, culture (Kosasih &Kurniawan, 2019). Lebih lanjut, Kosasih & Kurniawan (2019:1-2) menjelaskan bahwa Content yang dimaksud berupa isi atau materi pelajaran, seperti struktur dan kaidah kebahasaan; Cognitive, berupa kemampuan yang harus diakukan para siswa terkait dengan materi tertentu, misalnya menganalisis, mengevaluasi, mengonstruksi, dan menyusun artikel; Communication, berkaitan dengan cara kemampuan itu dikembangkan, misal dapat berupa lisan atau tertulis; Culture, berkaitan dengan konteks atau tema pelajaran.

Pembelajaran teks sebagai pembelajaran bahasa yang pada dasarnya sebagai media penghela ilmu pengetahuan sangatlah penting posisinya. Kecakapan berbahasa seorang siswa sangat menentukan keberhasilan siswa tersebut. Berkait hal tersebut, sebagaimana yang dijelaskan di muka bahwa kemampuan literasi baca bangsa Indonesia masih sangat memprihatinkan.  Bahkan dari aspek minat baca masyarakat Indonesia  hanya 0,001%, artinya dari 1000 orang  hanya 1 orang yang rajin baca. Selain itu, hasil riset Central Connecticut State University tahun 2016 dengan tajuk World’s Most Literate Nations Ranked menyatakan bahwa Indonesia berada  di posisi 60 dari 61 negara soal minat membaca (Kominfo.go.id, 2017). Dua data dari PISA 2018  dan hasil riset  Central Connecticut State University 2016 menujukkan bahwa pembelajaran bahasa dan literasi di negeri ini masih perlu banyak pembenahan. (Ahmadi 2020)

id_IDIndonesian