Artikel Umum
WELL BEING PADA SISWA KORBAN BULLYING
Oleh: Putri Siti Nurjanah
Pada saat ini lingkungan pendidikan telah banyak terjadi berbagai perilaku dan aksi kekerasan yang mengkhawatirkan. Salah satu aksi kekerasan yang paling sering terjadi adalah perilaku bullying. Bullying sebagai salah satu bentuk tindakan agresif merupakan permasalahan yang sudah mendunia, salah satunya di Indonesia. Dari data National Mental Health and Education Center tahun 2004 di Amerika diperoleh data bahwa bullying merupakan bentuk kekerasan yang umumnya terjadi dalam lingkungan sosial di mana 15% dan 30% siswa adalah pelaku bullying dan korban bullying. Prevalensi perilaku bullying yang meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan kerusakan atau kerugian yang besar.
Hal ini mungkin saja terjadi karena perilaku bullying sering kali dianggap sepele. Selain itu, perilaku bullying ini tidak mendapatkan intervensi dalam penanganannya, seperti mediasi yang secara efektif mengurangi konflik di antara anak-anak yang menjadi korban bullying (Limber, dalam Crawford, 2002). Secara umum, perilaku ini dapat berpengaruh negatif terhadap kehidupan personal dan kehidupan akademik siswa bahkan ada yang berakhir pada bunuh diri (Tumon, 2014; Moon, Hwang, & McLuskey, 2008; Gruber & Fineran, 2007; Panayiotis, Anna, Charalambos, & Chrysostomos, 2010). Perilaku bullying sangat rentan terjadi pada remaja putra dan remaja putri. Berdasarkan latar belakang yang ada, di mana perilaku bullying sangat lekat di kehidupan remaja khususnya di sekolah.
Pengalaman sekolah yang kurang menyenangkan dapat menjadi sumber stres yang signifikan dan mengurangi kualitas hidup bagi peserta didik (Huebner & McCullough, 2000). Pernyataan Huebner dan McCullough didukung dengan penelitian Fatimah (2010), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi stres yang dialami siswa, maka akan diikuti dengan semakin buruknya penilaian siswa terhadap sekolahnya. Pengukuran penilaian subjektif siswa terhadap terpenuhinya kebutuhan di sekolah disebut sebagai school wellbeing yang dikembangkan oleh Konu dan Rimpela (2002).
Ketika siswa mengalami kejenuhan, maka ia akan merasa tidak memiliki hubungan sosial yang baik dan pemenuhan dirinya di sekolah terasa seperti diabaikan. Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Torsheim (Fatimah, 2010) bahwa stres yang dialami oleh siswa akan memberikan dampak yang buruk pada hubungan interpersonal, kemudian keadaan stres tersebut dapat membuatnya merasa bahwa iklim belajar di sekolahnya tidak menyenangkan. Padahal pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dapat mengubah kualitas hidup ke arah yang lebih baik. Tanpa pendidikan, manusia akan kesulitan dalam menghadapi masalah, mencari solusi, dan memecahkan suatu masalah (Marliani, 2010).
Menurut Ahmad (2010, dalam Maru’ dan Wahyuningrum, 2016), menyatakan bahwa sekolah merupakan sarana yang potensial dalam membentuk kepribadian siswa. Dengan hal ini, suasana sekolah dapat mempengaruhi perkembangan siswa antara lain pada perkembangan kognitif, perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan juga perkembangan spiritual.
Oleh karena itu sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu saja, tetapi juga sebagai tempat pendidikan moral, karakter, pengembangan minat dan bakat siswa (Santrock, 2007). Lipsitz (dalam Santrock 2011), mendeskripsikan sekolah yang baik memiliki ciri-ciri, mau dan mampu menyesuaikan kegiatan sekolah dengan perkembangan fisik, kognitif dan sosioemosional, serta setiap siswa dapat berinteraksi setiap hari dengan pendidik yang mau mendengar, menjelaskan, menghibur dan mendukung siswanya. Faktor kesejahteraan siswa harus mendapatkan perhatian dari sekolah. Morris (2009), mengatakan bahwa well being harus menjadi fungsi pendidikan utama dan sudah saatnya sekolah dapat memaksimalkan pertumbuhan siswa dan pendidiknya. Perasaan sejahtera dan nyaman di sekolah dapat membuat siswa mengembangkan dirinya secara optimal (Noble & Wyatt, 2008). School well being merupakan sudut pandang siswa mengenai penilaian kesejahteraan terhadap sekolahnya.
Konu & Rimpela (2002), mendefinisikan school well being sebagai sebuah keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, yang meliputi having, loving, being, dan health. School well being merupakan sudut pandang siswa mengenai penilaian kesejahteraan terhadap sekolahnya di mana sekolah mampu memenuhi kebutuhan siswa baik secara fisik maupun psikis. Pemenuhan diri siswa di sekolah biasanya disebut dengan being dalam school well being di mana adanya kesempatan untuk siswa dalam belajar dan melakukan kegiatan sekolah. Kemudian Konu dan Rimpela (2002) mengungkapkan bahwa status kesehatan pada siswa merupakan dimensi health. Kesehatan siswa meliputi aspek sehat secara fisik dan sehat secara mental.
Menurut Keyes dan Waterman (dalam Bornstein, Davidson, Keyes, & Moore, 2008), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi school well-being (kesejahteraan sekolah) adalah karakteristik kepribadian. Orientasi pusat kendali (locus of control) merupakan suatu dimensi kepribadian yang menilai keyakinan tentang kontrol di dalam hidup mereka (Azwar, 2013). Maka sangat diutamakan peran dari pendidik maupun orang tua terhadap seluruh siswa dalam pembentukkan karakteristik kepribadian atau kebiasaan.
Jika kita kembali ke terminologi, Bullying merupakan istilah untuk tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat baik dari segi umur, kekuatan, kekuasaan kepada pihak yang lemah. Bentuk dari perilaku bullying yaitu bullying fisik, bullying verbal dan bullying mental/ psikologis yang dapat ber dampak buruk kepada korbannya, seperti lebam, luka, sakit, penakut, dan lain sebagainya dan untuk jangka panjang yaitu terganggunya kondisi psikologis dan penyesuaian sosial yang buruk. (Sejiwa, 2008:213) mendefinisikan bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok pihak yang kuat, di sini tidak hanya berarti kuat hanya dalam ukuran fisik, tapi bisa juga kuat secara mental.
Dalam hal ini si korban bullying tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental. Selain itu bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya. Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying biasanya terjadi secara berkelanjutan selama jangka waktu lama, sehingga korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Konsep bullying pertama kali diperkenalkan oleh Olweus pada tahun 1973, yang diartikan sebagai suatu bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam suatu hubungan yang tidak terdapat keseimbangan kekuasaan maupun kekuatan.
Adapun bentuk-bentuk bullying menurut Andri Priyatna, (2010: 3) yang dilakukan pelaku terhadap korbannya, di antaranya :
- Fisikal, seperti: memukul, menendang, mendorong, dan merusak benda-benda milik korban.
- Verbal, seperti: mengolok-ngolok nama panggilan, melecehkan penampilan, mengancam, menakut-nakuti.
- Sosial, seperti: menyebar gosip, rumor, mempermalukan di depan umum, dikucilkan dari pergaulan, atau menjebak seseorang sehingga dia dituduh yang melakukan tindakan tersebut.
- Cyber atau elektronik, seperti: mempermalukan orang dengan menyebar gosip di jejaring sosial internet (misal Facebook), menyebar poto pribadi di internet tanpa seizin pemiliknya atau membongkar rahasia orang lain lewat internet atau Whatsapp.
Dampak Buruk Bullying
Penting sekali bagi orang tua untuk memahami bahwa bullying itu sama sekali bukan bagian normal dari masa kanak-kanak yang harus dilewati. Tindakan bullying itu berakibat buruk bagi korban, saksi, sekaligus bagi si pelaku itunya sendiri Bahkan efeknya terkadang membekas sampai si anak menjadi dewasa. Dampak buruk yang dapat terjadi pada anak yang menjadi korban tindakan bullying, antara lain : Kecemasan, merasa kesepian, rendah diri, tingkat kompetensi sosial yang rendah, depresi, simptom psikosomatik, penarikan sosial, keluhan pada kesehatan fisik, minggat dari rumah, penggunaan alcohol dan obat, bunuh diri dan penurunan performansi akademik.
Meningkatnya kasus bullying tidak terlepas dari pihak-pihak yang terlibat dalam tindak bullying. Tidak ada penyebab tunggal dari bullying. Banyak faktor yang terlibat dalam hal ini, baik itu faktor pribadi anak itu sendiri, keluarga, lingkungan, bahkan sekolah semua turut mengambil peran. Semua faktor tersebut, baik yang bersifat individu maupun kolektif, memberi kontribusi kepada seorang anak sehingga akhirnya dia melakukan tindakan bullying.
Faktor risiko dari keluarga untuk bullying :
- Kurangnya kehangatan dan tingkat kepedulian orang tua yang rendah terhadap anaknya.
- Pola asuh orang tua yang terlalu permisif sehingga anak pun bebas melakukan tindakan apapun yang dia mau, atau sebaliknya.
- Kurangnya pengawasan dari orang tua.
- Sikap orang tua yang suka memberi contoh perilaku bullying, baik disengaja atau pun tdak.
- Pengaruh dari perilaku saudara-saudara kandung di rumah.
Faktor lain :
- Bullying akan tumbuh subur di sekolah, jika pihak sekolah tidak menaruh perhatian pada tindakan tersebut.
- Banyak contoh perilaku bullying dari beragam media yang biasa dikonsumsi anak, seperti : televise, film, ataupun video game.
- Ikatan pergaulan antar anak yang salah arah sehingga mereka menganggap bahwa anak lain yang mempunyai karakteristik berbeda dari kelompoknya dianggap “musuh” yang mengancam.
- Pada sebagian anak remaja putri, agresi sosial terkadang dijadikan alat untuk menghibur diri, terkadang juga digunakan sebagai alat untuk mencari perhatian dari kawan-kawan yang dianggap sebagai saingannya.
Upaya mencegah dan mengatasi bullying perlu dilakukan tindakan intervensi pada pihak pelaku terlebih dahulu, hal ini dikarenakan pelaku bullying cenderung melibatkan lebih dari satu orang untuk melakukan tindakan bullying, sehingga membuat kasus bullying terus meningkat karena semakin banyaknya individu yang menjadi pelaku. Bullying perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua kalangan masyarakat, hal ini dikarenakan sebagian besar tindakan bullying terjadi di lingkungan sekolah dapat berdampak pada kesehatan mental siswa di sekolah. Kesehatan mental merupakan suatu kondisi individu yang tidak hanya dilihat berdasarkan ada tidaknya simptom-simptom tekanan psikologis yang muncul tetapi juga berkaitan dengan adanya karakteristik kesejahteraan psikologis yang berpengaruh dalam hidupnya seperti perasaan gembira, tertarik, dan dapat menikmati hidup yang dijalaninya.
Oleh karena itu, kesejahteraan psikologis atau psychological well being pada siswa kasus bullying harus dibentuk agar siswa mendapat afek positif sehingga dapat mengembangkan potensinya baik secara fisik maupun psikis guna memenuhi keinginannya. Maka pihak sekolah maupun orang tua atau keluarga sangat diutamkan peranannya dalam pembentukan psychological well being.
Hal yang harus dilakukan jika anak melapor bahwa dia sudah menjadi korban bullying :
- Pertama, simak apa yang dia ungkapkan; tunjukkan kita serius dalam menghadapi situasi yang sedang dia hadapi.
- Kemudian, cari tahu tindakan apa yang dapat dilakukan dalam mengantisipasi jangan sampai kejadian tersebut terulang kembali. Missal: bersikap lebih asertif, meghindari orang atau tempat tertentu.
- Sebagai orang tua, tentu ada saja pikiran untuk langsung datang da memarahi pelaku Tetapi jangan lakukan itu, tindakan seperti ini tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.
- Pihak sekolah melakukan promosi keahlian sosial untuk mencegah bullying saat reses dan membuat program anti bullying di sekolah.
- Untuk guru harus bersikap serius dan segera bertindak cepat pada setiap laporan bullying yang diterima, selalu menjadi model perilaku prososial dan membimbing siswa yang terlibat bullying secara individual.
Merujuk pada simpulan akhir bahasan ini, Bullying merupakan istilah untuk tindakan kekerasan atau penindasan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat baik dari segi umur, kekuatan, kekuasaan kepada pihak yang lemah. Bentuk dari perilaku bullying yaitu bullying fisik, bullying verbal dan bullying mental/ psikologis. Faktor yang terlibat dalam hal ini, baik itu faktor pribadi anak itu sendiri, keluarga, lingkungan, bahkan sekolah semua turut mengambil peran.
Bullying perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua kalangan masyarakat, hal ini dikarenakan sebagian besar tindakan bullying terjadi di lingkungan sekolah dapat berdampak pada kesehatan mental siswa di sekolah. kesejahteraan psikologis atau psychological well being pada siswa kasus bullying harus dibentuk agar siswa mendapat afek positif sehingga dapat mengembangkan potensinya baik secara fisik maupun psikis guna memenuhi keinginannya. Maka pihak sekolah maupun orang tua atau keluarga sangat diutamkan peranannya dalam pembentukan psychological well being.
Daftar Pustaka
Azwar, S. (2013). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bornstein, M. H., Davidson, L., Keyes, C. L. M., & Moore, K. A. (2008). Dimensions of well-being and mental health in adulthood, well-being: Positive development. Mahwah: Erlbaum Associates Publishers.
Moon, B, Hwang, H.W & McCluskey. J.D. (2008). Causes of School Bullying: Empirical Test of a General Theory of Crime, Differential Association Theory, and General Strain Theory. Crime & Delinquency 57(6) 849–877
Crawford, N. (2002). New ways to stop bullying: Psychologists are driving efforts to get efective, research-based bullying-prevention and intervention programs into schools. Monitor on Psychology, Vol. 33, No. 9, p.64.
Fatimah, B.S. (2010). Hubungan antara stress dengan school well-being pada siswa kelas XI SMA Negeri di Jakarta. Skripsi (Tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Gruber, J.E., & Fineran, S. (2007). The impact of bullying and sexual harassment on middle school and high school girls. Violence Against Women, 13, (2).
Huebner, S.E., & McCullough, G. (2000). Correlates of school satisfaction among adolescents. The Journal of Educational Research. Vol 93 (5). 331-335.
Konu, A, & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: A conceptual model. Journal of Health Promotion International,17(1), 79-87.
Marliani, R. (2010). Psikologi umum.Bandung: Pustaka Setia
Maru’, K. D., & Wahyuningrum, E. (2016). Hubungan Antara Penyesuaian Sosial Dengan School Well Being Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Makale. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Diakses pada tanggal 20 Mei 2020 dari
https://repository.uksw.edu/handle/123456789/10157
Morris, Ian. (2009). Teaching Happiness And WellBeing in Schools. New York: Mixed Souces.
Noble, T., & Wyatt, T. (2008). Scoping study in to approaches to student wellbeing. Final Report. Australian Catholic University & Erebus International.
Panayiotis, P., Anna, P., Charalambos, T., & Chrysostomos, L. (2010). Prevalence of bullying among cyprus elementary and high school students. International Journal of Violence and School, 11, 114-128.
Priyatna. Andri, (2010). Let’s End Bullying. Jakarta : PT. Elex Media. Komputerindo, Gramedia.
Santrock, J.W. (2007). Remaja, edisi 11. Jakarta: Kencana.
Santrock, J.W. (2011). Psikologi pendidikan, edisi kedua. Jakarta: Kencana.
Tim Sejiwa. (2008). Bullying: Panduan bagi Orang Tua dan Guru Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan. Jakarta: Grasindo.
Tumon, M. B. A. (2014). Studi deskriptif bullying pada remaja. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, 3(1), 1-17.